Lebih Berani Dari Setan
Berarti bapak ini sang pemberani, lebih berani dari setan. Kalau gitu maafkan kami pak. Tahu begini dari awal saya gak akan ngajak bapak…. permisi pak
Lebih Berani Dari Setan - Dia adalah seorang bapak tua dari tlatah Tasikmadu yang hari-harinya diisi dengan rutinitas bak “pengacara”, alias pengangguran banyak acara. Salah seorang sohib simbah dari Solo bercerita tentang pengalamannya mengajak bapak itu untuk mertobat dari kebiasaan buruknya, yakni ninggalin sholat.
Bersama beberapa temannya, dia datangi rumah bapak tua itu. Berkenalan dan lantas berakrab-akrab. Sampailah pada ajakan untuk ngajak bapak itu agar mau aktif sholat di mesjid. Dengan senyam-senyum dan bahasa yang halus bapak itu menolak.
“Entar aja nak, kalo sudah saatnya bapak berangkat juga kok.” demikian kata bapak itu setengah berjanji, setengah ragu.
Minggu berikutnya bapak itu didatangi lagi. Dengan pola yang sama, bapak itu diajak lagi. Jawabannya masih sama. Masih dengan senyum yang kemarin dan penolakan yang kemarin pula. Sohib simbah gak putus asa. Minggu berikutnya didatangi lagi.
Demikianlah beberapa minggu ditelateni didatangi. Yang tadinya penolakannya halus dan penuh senyum, sekarang mulai diiringi nada ketus dan tanpa senyum. Sampai akhirnya pada suatu hari, sohib simbah ini mengajak teman yang lain yang bahasanya lebih halus untuk memberi nuansa baru pada ajakannya.
Rupa-rupanya bapak tua itu sudah pada puncak kekesalannya. Saat diajak oleh sohib yang halus budi bahasanya tersebut, maka si bapak membentak dengan berang :
“Heh, mas-mas… gini aja. Sampeyan-sampeyan gak usah ke sini lagi saja mulai sekarang. Gak usah ngajak-ngajak sholat saya. Biar saya begini saja. Mau masuk surga ya terserah, mau masuk neraka ya biarlah, sekalian masuk neraka, gak apa-apa. Toh itu bukan urusan sampeyan-sampeyan…!!!”
Melihat gelagat gak baik, temen simbah itu langsung menjawab juga dengan nada agak tinggi, yang selama ini belum pernah dilakukannya pada bapak itu.
“Waduh pak… maaf., Setan saja di dalam Al Qur’an menyatakan takut lho pak masup neraka. Ha kok bapak ini lebih berani dari setan. wah... saya gak tahu ada orang seberani bapak, yang keberanianya melebihi setan. Sampai nantang mau masup neraka. wah..wah... berarti bapak ini sang pemberani. Kalau gitu maafkan kami pak. Tahu begini dari awal saya gak akan ngajak bapak…. permisi pak.”
Teman-teman simbah itu langsung pamit menuju ke mesjid untuk sholat maghrib. Nah, herannya… pada saat masup waktu Isya’, bapak yang diajak itu nongol di masjid. Masuk dengan agak malu-malu campur takut. Melihat bapak tua itu masup mesjid, sohib simbah segera menyambut gembira.
Tanpa ditanya, tanpa dinyana, bapak itu meminta maaf atas keketusannya sore tadi. Dan dengan perkataan sohib simbah itu, rupanya membuat si bapak mikir terus. Lha apa iya dirinya lebih berani dari setan, nantang-nantang masup neraka hanya gara-gara gak mau diajak ngibadah?
Setan yang memang niat maksiat dan ngajak maksiat saja masih menyatakan takut masup neraka. Ha kok dirinya ini dengan lantangnya nantang masup neraka.
Tapi memang profil orang model si bapak tadi banyak sekali di sekitar kita. Bahkan mungkin diri kita sendiri masih begitu. Di saat ada ajaran agama yang dianutnya gak sesuai dengan hawa nafsunya, ditentangnya dengan keras dan bahkan dengan lantang dia berkata, “Kalo gue dengan ini dianggep bisa masup neraka, gue rela masup neraka.”
Manusia memang beragam. Disaat belum bisa atau tidak mau menjalani satu syareat agama, alasannya bisa bermacam-macam. Ada yang menyadari bahwa dirinya salah, namun karena keadaan maka dia belum menjalaninya. Tetap dengan kesadaran bahwa itu salah.
Ada juga yang memang sengaja menentangnya. Bahkan meyakini itu gak apa-apa dan bukan satu kesalahan. Manakala ditegur, yang keluar adalah semisal yang keluar dari mulut bapak tadi : “Nantang masup neraka”.
Simbah tak berkuasa atas surga dan neraka. Kalaupun mengingatkan akan hal itu bahwa itu ada, maka sebenarnya itu semata-mata karena dikasih tahu bahwa surga dan neraka itu ada. Syarat masupnya pun juga sudah dikasih tahu.
Jadi ketika seseorang secara dhohir sudah memenuhi syarat, ya sudah…. kita menghukuminya sebatas dhohir saja. Hatinya tak boleh dihukumi, karena kita bukan orang yang berhak menghukumi isi hati orang.
Justru karena kita gak boleh menilai isi hati orang, perbaikilah dhohirnya. Secara dhohir orang yang rajin sholat itu baik. Itu saja hak kita menilai dan menghukumi. Hatinya mbuh. Makanya ketika ada orang gak sholat sama sekali trus dikatakan gak baik, jangan mencak-mencak dan ngomel “Emangnya elo tahu isi hati orang??”
Soalnya kita hanya diberi wewenang menilai yang dhohir saja. Kita hanya punya piranti untuk itu.
Ah sudahlah….. sebenarnya simbah pingin cerita tentang bapak tua itu saja kok. Lain tidak...