PASRAH BONGKOKAN
Pasrah ini umum dipahami orang, tapi pada prakteknya orang lebih suka untuk tidak menjalaninya. Lebih seneng pasrah bongkokan pada bukan ahlinya
“Dok, tolong dok…. keliatannya saya terkena penyakit jantung ini..!!” demikianlah satu sore simbah kedatangan pasien wanita yang sangat panik.
“Tenang dulu bu.. Kok tahu kalo itu penyakit jantung darimana?” simbah menenangkan.
“Lha tetangga saya bilang, kalo dada nyeri itu gejala penyakit jantung dok. Saya jadi takut stroke nih dok…” katanya lagi.
“Ibu tadi lantas minum obat apa?” tanya simbah.
“Saya dikasih ini dok…. katanya bisa buat ngobatin penyakit jantung, ya lantas saya minum,” kata ibu itu sambil nunjukin obat Isosorbid Dinitrat alias ISDN sak emplek.
“Wah… wah.. lha kalo sudah tahu kalo itu penyakit jantung trus dah diobati, ngapain ibu datang kemari…??” tanya simbah lagi.
“Saya pingin tahu dok, saya ini kena penyakit jantung apa nggak? Saya jadi takut je….!!” Simbah jadi heran. Gak yakin kok obate diunthal lho…
Kejadian seperti di atas sering simbah alami. Pasien merangkap dokter merangkap apoteker sekaligus. Mendiagnosa penyakitnya sendiri trus memutuskan sendiri obat yang harus diminum, hanya semata-mata berdasar jarene-jarene.
Kata tetangga ini manjur, itu mujarab, maka disantaplah sang obat. Mending kalo obat, kadang sarannya disuruh ngunthal endhog komodo, mbrakoti congor boyo, ngemplok brutu jerapah, atau nenggak uyuh jaran. Setelah simbah periksa, ibu itu sebenarnya cuma terkena gastritis, atau maag ringan.
Tapi sudah terlanjur ngemplok ISDN sang obat jantung koroner hanya karena panik dan berdasar saran ngawur dari sang tetangga. Untung saja tak terjadi apa-apa. Dan untung saja si tetangga gak ngasih Digoxin yang dosis lethalnya sangat rawan.
Anehnya, setelah kejadian itu si tetangga ya santai-santai saja. gak dituntut apapun. Dan cenderung besoknya ngulangi lagi. Bahkan simbah pernah nemui bayi gemuk diare dengan demam tinggi malah dijopa-japu tetangga simbah dengan sedikit komit-kamit ala simpanse ngemut granat. Saat gak manjur, bapak ibunya sambat ke simbah.
Setelah simbah periksa bayinya, ternyata si bayi sudah dehidrasi berat. Segera saja simbah kirim ke rumah sakit. Sayang, bayi tersebut meninggal di perjalanan menuju ke rumah sakit. Si tetangga ya siyul-siyul saja. Gak ada permohonan maap, dan gak ada tuntutan dari si ortu bayi.
Padahal tetangga yang ini juga pernah menyebabkan seorang ibu jadi bisu. Gara-garanya saat seorang ibu gak sadarkan diri, simbah sarankan ke rumah sakit karena simbah curiga ibu itu kena TIA (Transient Ischemik Attack), namun dibantah tetangga tersebut dengan alasan si ibu itu cuma kesambet danyang gentayangan.
Maka malah dirituali dengan penanganan medis poliklenik. Hasilnya saat tersadar, ibu itu gak bisa ngomong alias bisu sampai sekarang.
Kanjeng Nabi Muhammad saw sudah lama berpesan,
“Jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
Hal tersebut bukan hanya berlaku di dunia kedokteran. Tapi berlaku di semua bidang dan sendi kehidupan. Bayangkan jika komputer error ditambani sama Kyai sangkal putung atau ahli sambung tulang Cimande, lak yo malah tambah error. Atau patah tulang mertombo ke ahli elektronik, lha opo njaluk disolder dengkule..??
Sayangnya banyak sekali orang yang di saat butuh sesuatu, larinya bukan pada ahlinya. Dan hebatnya lagi, orang yang bukan ahlinya itu dengan beraninya ngasih solusi seakan-akan dialah sang master di bidang itu. Malah ngomentari ahlinya bahwa mereka itu salah dan gak bisa dipercaya.
Kalo sampeyan paham, Dokter ahli paru yang perokok berat pun masih lebih bisa dipercaya untuk ngobatin penyakit paru-paru anda, daripada dukun bayek yang anti rokok. Mengapa? Meski mereka gak konsekwen dengan ilmunya, setidaknya mereka berilmu dan ahli di bidangnya.
Ini umum dipahami orang, tapi pada prakteknya orang lebih suka untuk tidak menjalaninya. Lebih seneng pasrah bongkokan pada bukan ahlinya. Mencari info soal kesehatan, komputer, ekonomi dan juga yang paling penting soal agama, malah lebih nggethu baca ulasan orang-orang yang bukan ahlinya.
Katanya lebih gayeng. Yang pakem njelehi. Lebih asik yang gak pakem.