Belajar Bersama Keterbatasan
Belajar Bersama Keterbatasan - Berulangkali sudah simbah menyaksikan di tipi, seorang reporter melaporkan kondisi bencana di lapangan.
Belajar Bersama Keterbatasan - Berulangkali sudah simbah menyaksikan di tipi, seorang reporter melaporkan kondisi bencana di lapangan. Lalu dengan wajah seakan ikut prihatin, dia menanyakan pertanyaan koplo ini : “Warga sini sudah menerima bantuan dari pemerintah apa belum pak?”
Mbuh nggak tahu kenapa, simbah menganggap pertanyaan macem begitu sebagai pertanyaan khas kere, yang hanya bisa membangkitkan energi pasif daripada energi untuk pro aktif. Tapi herannya pertanyaan model mas-mas dan mbak-mbak reporter itu terasa Indonesia banget. Mungkin maksudnya untuk menunjukkan, “Ini lho warga sedang kena bencana, mbok pemerintah ikut mbantu.”
Padahal sudah sama dimaklumi, bahwa untuk proyek-proyek kemanusiaan model gini, selalu sepi peminat. Soalnya itu proyek gak ada basah-basahnya sama sekali, meskipun ngurusi banjir juga. Beda dengan proyek-proyek basah lain yang selalu dikejar karena berharap cipratan klebusnya. Apa pada lupa bahwa di Indonesia ini berlaku aturan “Semua pejabat itu korup, kecuali terbukti lain”?
Memang menyedihkan, bencana yang berulang tidak menyebabkan bangsa ini tambah cerdas. Padahal sebenarnya, biasanya suatu bangsa bisa bertambah pinter kalo mereka terbiasa dihadapkan dengan medan masalah. Karena yang Maha Kuasa selalu memberikan kelebihan di balik semua kekurangan… itu jika yang diberi kekurangan melek hatinya.
Wong-wong Londo pinter bikin dam, karena mereka punya masalah dimana daerah tempat tinggalnya justru berada di ketinggian di bawah permukaan air laut. Wong-wong encik arab, karena panas hawanya jadi kreatip. Ngimpor pohon sak tanah-tanahnya, buat menghijaukan padang pasir. Wong Singapur yang negaranya cuma sak upil tak kalah kreatip. Ngurug laut biar areal daratannya tambah luas sekaligus memperluas zona ekonomi eksklusif mereka, walaupun ngurugnya dengan pasir Spanyol alias “Separo Nyolong”. Hakok bisa dapet pasir spanyol? Yah itu pinter-pinternya wong singapur memanfaatkan kegoblogan massal wong Indonesia yang makin banyak kehilangan pulau karena tenggelam.
Coba sampeyan perhatikan kondisi bangsa ini manakala terkena bencana! Yang muncul adalah perilaku pasif, sedangkan perilaku proaktip, kreatip dan positip jarang muncul. Di level warga, nunggu bantuan adalah hal paling standar.
Jika gagal paling dilanjutkan demo. Jarang ada warga yang mengajukan tindakan solutip dengan bergotong royong mencari jalan keluar, atau bertobat dari perilaku salahnya yang menyebabkan bencana.
Di level media massa, muatan beritanya hanya seputar bantuan yang tak kunjung datang. Jarang yang memblow-up satu ide cemerlang yang menjadi headline semua media, yang menjadi inspirasi jalan keluar bagi masalah yang ada. Padahal kalo semua media berpikir tentang ide solutip, bukan mustahil masyarakat jadi lebih cerdas.
Suatu bangsa bisa jadi besar jika melakukan tindakan-tindakan besar. Suatu bangsa jadi kaya kalo meninggalkan perilaku yang memiskinkan, ini simbah sekedar mengutip omongannya pak Mario Teguh.
Lha kalo satu bangsa tontonan massalnya saja sinetron, infotenmen, gosip, skandal, lalu kelakuannya pasif, nunggu bantuan, ngemis massal, dari lepel proletar sampe borjunya sama saja, gimana mau besar dan kaya bangsa ini..??
Negerinya boleh kaya, tapi penghuninya miskin. Karena hanya perilaku yang memiskinkan yang dikembangkan oleh semua pihak, baik pejabat, media, maupun lembaga masyarakat.