Pahlawan Kurang Tanda Jasa
Tulisan ini mewakili orang tua murid yang penghasilannya seret dan hidup kurang beruntung dan menyekolahkan anaknya ke Madrasah tersebut.
Pahlawan Kurang Tanda Jasa - Tahun ajaran baru. Identik dengan seragam baru, buku baru dan kelas baru bagi kalangan siswa sekolah. Bagi kalangan orang tua, tahun ajaran baru adalah saatnya invest ke dunia pendidikan. Keperluan apapun bagi sekolah anak harus tersedia. Bahkan urusan sekolah jadi prioritas utama.
Sudah lazim difahami, di tahun ajaran baru beberapa klinik biasanya menjadi agak sepi. Yang berobat biasanya yang memang sakitnya sudah setengah mati.
Sakit yang ringan masih bisa ditahan dan dibanjeli obat sekadarnya dari warung. Masalahnya duit yang ada dipakai untuk biaya sekolah yang tak bisa ditawar lagi.
Pagi ini, simbah melihat iklannya Dedy Mizwar yang menyebutkan bahwa sekolah gratis. Bahwa sarana sekolah disupport dengan dana BOS. Agak semedhot melihat iklan ini. Karena kenyataan yang simbah temui tak seindah iklan tersebut.
Terutama karena simbah mengalami sendiri bahwa sekolah SD pun masih dijejali dengan segala macem trik dari guru.. maaf.. oknum guru, yang banyak mencoreng wajah pendidikan dasar negeri ini.
Adalah anak kedua simbah sekolah di satu sekolah yang ‘berbau’ agama. Dengan nama kearaban, yakni “Madrasah Ibtidaiyah Negeri” alias Sekolah Dasar dalam bahasa dewek. Dengan harapan, akhlak anak simbah bisa menjadi baik sebagaimana visi dan misi dari sekolah tersebut.
Pertama, kasus tabungan
Sudah menjadi kelaziman bahwa anak kita dididik untuk mau hemat dan menabung. Satu pendidikan yang luhur. Walakin, niat baik berhemat dan menabung ini dimanfaatkan oleh “system oknum” sekolah yang hendak mengais rejeki dengan cara tidak luhur.
Bayangkan, setelah kenaikan kelas kemarin, tabungan dibagikan. Dumadakan ada pengumuman yang menyebutkan bahwa tabungan anak-anak dipotong 10% untuk alas an yang tidak jelas juntrungnya.
Hwarakadah..... baru kali ini ada orang naruh duit bukannya berkembang namun menyusut. Simbah cukup kasian pada seorang ibu yang menabung hingga 4 juta ripis di sekolah itu. Dia kena potong 400 rebu ripis untuk alasan yang gak jelas. Satu jumlah besar untuk satu pungutan yang jelas-jelas liar. Simbah sendiri yang gak gableg duit kena potong sembilan belas rebu ripis, karena tabungan Cuma 190 rebuan. Tetep saja simbah gak ikhlas didzholimi segitu.
Muda menabung, tua beruntung. Murid muda menabung, oknum sekolah yang tua yang beruntung.
Banyak yang mengeluh, namun tak banyak yang mau bersuara. Kasus satu keluarga di Surabaya yang jujur lalu kemudian diajur oleh tetangganya cukup memberikan trauma untuk ngomong jujur apa adanya. Kasus bu Prita, juga cukup membuat orang gak berani nulis di media.
Makanya, inipun simbah beraninya ngomyang dengan identitas Madrasah yang masih anonym. Namun sukur-sukur ada pegawai dinas pendidikan atau depag yang masih punya hati mau melacak dan mengusut, dengan seneng hati simbah memberikan informasi dengan jelas.
Kedua, kasus buku Pelajaran
Simbah gak tahu, apakah ada larangan sekolah menjual buku ke muridnya. Namun kelihatannya larangan itu ada. Karena pihak Madrasah ini juga melakukan hal yang sama dengan cara tersembunyi. Modus operandinya cukup rapi dan akan mudah berkelit tatkala diusut.
Modus operandinya begini: Madrasah tersebut menetapkan buku-buku yang dipakai untuk pegangan siswa. Buku-buku pelajaran tersebut adalah buku-buku yang dipesan dari penerbit yang jauh dan sulit dicari di Jakarta ini. Maka saking sulitnya, setelah menjelajah ke sekian toko buku, orang tua murid tetep kelabakan nggak nemu buku-buku yang direkomendasikan pihak Madrasah.
Setelah setengah modar nyari buku dan akhirnya nyerah, pihak Madrasah datang bak pahlawan penolong dengan mengatakan:
“Bapak-bapak ibu-ibu, buku tersebut bisa dibeli dengan mudah di koperasi sekolah”
Hwarakadah... Inipun masih berlapis perlindungannya. Buku tersebut tidak dijual di koperasi Madrasah Ibtidaiyah nya, namun di Madrasah Aliyah yang letaknya berdampingan dengan Madrasah Ibtidaiyah tersebut. Bayangkan, sekolah MAN jualan buku untuk MIN.
Harga keseluruhan buku yang harus dibeli adalah 250 rebu ripis. Ya ... seperempat juta untuk buku anak setingkat SD. Mbah Dedy Mizwar boleh berkoar terus di iklan, anak SD bukunya gratis karena ada BOS. Tapi anak simbah dan temen-temennya tetep bayar karena oknum BOSOK.
Pertanyaan pentingnya: kemana simbah harus lapor untuk kasus seperti ini? Apakah untuk jalur MIN tidak ada BOS karena jalurnya beda dengan SD Negeri umum? Simbah tunggu masukan dari pembaca pitutur semua.
*Buat simbah sendiri, harga buku segitu tidaklah berat. Tulisan ini mewakili orang tua murid yang penghasilannya seret dan hidup kurang beruntung dan menyekolahkan anaknya ke Madrasah tersebut.