Berani Nambah Anak?
Nambah anak adalah hal yang besar. Herannya anak-anak simbah itu bisa pathing drindil keluar berkala. Selain karena gak KB, mbah wedok itu ya setuju..
Berani Nambah Anak? - Siapa yang gak seneng lihat anak-anak yang lugu, lucu, njloned dan nggemesin? Siapapun suka. Tapi kesukaan terhadap anak ini tidak lantas membuat orang suka menambah jumlah anaknya. Bahkan manakala seorang ibu yang berkunjung ke klinik simbah ditanya, “Wah kapan nih si kecil diberi adik?” Jawabannya selalu klise, satu diantara dua jawaban.
Pertama, “Ah, gak nambah lagi dok. Ha wong yang ada ini saja udah kewalahan.” Atau
Kedua, “Entar dok, ini saja kerepotan ngurusnya.”
Nambah anak adalah hal yang besar. Herannya anak-anak simbah itu bisa pathing drindil keluar berkala. Selain karena gak KB, mbah wedok itu ya setuju saja manakala simbah usul nambah anak. Padahal pasien yang datang untuk KB itu sak tekruk.
Simbah pernah ditanya oleh satu kepala keluarga yang anaknya sembilan. “Dok, bagusnya punya anak itu sedikit atau banyak sih..?”
Simbah berpikir sejenak, lalu menjawab, “Kalo bapak mampu mendidik anak-anak itu menjadi manusia yang sholeh, saya anjurkan banyak-banyaklah punya anak. Karena keberadaan orang sholeh sangat dibutuhkan di bumi ini. Tapi kalo bapak gak mampu ndidik anak, dan berpotensi anak-anak itu malah jadi begajul, mendingan sedikit anak saja deh.”
Satu alasan pokok yang menyebabkan orang takut-takut nambah anak adalah masalah rejeki. Kekhawatiran bahwa sang orang tua tidak mampu menghidupi anak-anaknya. Meskipun ada alasan yang lainnya. Lha, si orang tua rupanya yakin kalo sumber rejeki anak itu berasal dari mereka.
Padahal seharusnya menjadi keyakinan masing-masing orang yang beriman, bahwa yang namanya manusia itu membawa jatah rejeki mereka masing-masing. Si anak tidak mungkin ngganggu rejeki bapaknya. Karena si anak lahir ke dunia membawa rejekinya sendiri, yang lantas dititipkan kepada bapaknya sama Gusti Allah.
Matematika si Malthus bilang, jika telur cuma satu dan anaknya satu, maka si anak dapat satu telur. Kalo dua anak, ya masing-masing dapet setengah. Kalo anaknya empat, ya jadilah bagian masing-masing anak seperempat. Matematika orang yang beriman bukan matematikanya Malthus. Jika anak satu dapet telur satu, maka jika anaknya empat, maka masing-masing malah bisa makan dua telur.
Matematika si Malthus bilang, jika telur cuma satu dan anaknya satu, maka si anak dapat satu telur. Kalo dua anak, ya masing-masing dapet setengah. Kalo anaknya empat, ya jadilah bagian masing-masing anak seperempat. Matematika orang yang beriman bukan matematikanya Malthus. Jika anak satu dapet telur satu, maka jika anaknya empat, maka masing-masing malah bisa makan dua telur.
Kenapa? Karena anak yang kedua, ketiga dan keempat membawa rejeki tujuh telur. Mereka datang ke dunia tidak dengan tangan hampa, karena masing-masing gundhul itu tidak akan lahir ke dunia kecuali pasti membawa rejekinya sendiri. Dan gundhul itu tidak akan mati sebelum jatah rejekinya abis.
KB dengan alasan masalah rejeki itu sebenarnya melecehkan kemampuan Allah dalam memberi rejeki kepada kita. Satu-satunya alasan KB yang tepat menurut simbah adalah karena alasan medis. Ibu punya anak lebih dari 5 itu berpotensi kena atonia uteri yang berakibat fatal, ini wajib KB. Tapi kalo KB gara-gara takut makanan sepiringnya nanti berkurang menjadi setengah piring, wah harus direparasi nih keyakinannya.
Jadi,….. berani gak nambah anak?
KB dengan alasan masalah rejeki itu sebenarnya melecehkan kemampuan Allah dalam memberi rejeki kepada kita. Satu-satunya alasan KB yang tepat menurut simbah adalah karena alasan medis. Ibu punya anak lebih dari 5 itu berpotensi kena atonia uteri yang berakibat fatal, ini wajib KB. Tapi kalo KB gara-gara takut makanan sepiringnya nanti berkurang menjadi setengah piring, wah harus direparasi nih keyakinannya.
Jadi,….. berani gak nambah anak?