Yang Penting Aku
Korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah bentuk lain dari sifat manusia yang satu ini. Ego yang menyatakan “yang penting aku”. Dimana ‘aku” nya bisa aku
Yang Penting Aku - Adalah guru ngaji simbah menceritakan satu kisah yang sarat dengan makna. Yakni kisah tentang penghuni penjara. Syahdan ada satu rutan alias penjara dihuni oleh 500 napi. Suatu ketika diumumkanlah, bahwa kepala rutan memberi kesempatan pada penghuninya untuk keluar dari rutan tersebut. Tentu saja kesempatan ini disambut dengan gegap gempita oleh 500 penghuni rutan tersebut.
Hanya saja kesempatan keluar dari penjara itu sangat terbatas. Yakni dengan cara membuka salah satu pintu keluar penjara yang sempit, yang hanya seukuran tubuh orang dewasa yang berjalan miring. Lamanya pintu dibuka hanyalah 10 menit. Setelah itu pintu ditutup lagi. Maka yang keluar penjara dianggap lepas, sedangkan yang tinggal akan menjalani masa hukumannya lagi.
Pertanyaannya, kira-kira berapa napi yang bisa keluar dari rutan tersebut dengan memanfaatkan waktu keluar yang disediakan?
Ini akan sangat tergantung dari pribadi para napinya. Jika yang ada adalah para napi masing-masing ingin dirinya yang lebih dahulu keluar, dan merasa dirinyalah yang harus dipentingkan terlebih dahulu, maka bisa jadi selama 10 menit yang disediakan tak satupun napi berhasil keluar dari rutan tersebut.
Korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah bentuk lain dari sifat manusia yang satu ini. Ego yang menyatakan “yang penting aku”. Dimana ‘aku” nya bisa aku dan keluargaku, aku dan kroniku, aku dan bolo jembrekku atau aku dan partner petanku.
Si buruh merasa urusannya paling penting, namun juga si pengusaha merasa dirinya tak kalah penting. Si Karyawan merasa tuntutan haknya wajar, si bos juga merasa haknya berhak dia tuntut.
Karena yang terjadi adalah saling tonjok, saling jegal, saling baku hantam untuk menjatuhkan napi lain, dan masing-masing berusaha agar dirinya bisa keluar. Semua merasakan waktu keluar yang disediakan terbatas, semua merasakan ketakutan yang sama, yakni tak kebagian waktu untuk bisa keluar.
Justru ketakutan yang sama dan perasaan merasa ingin mendahulukan keinginan diri inilah yang akhirnya membinasakan seluruh napi. Maka bisa jadi setelah 10 menit terlewat, hasilnya adalah para napi babak belur, patah tulang, rampal gigi, kepala menyonyo, bibir njedir, dahi moncrot dan wajah bengebh.
Dan tak satupun napi berhasil keluar. Namun jika yang terjadi adalah para napi tersebut berusaha tertib, berjajar rapi sesuai urutan -entah berdasar apapun urutan tersebut-, berjajar dengan mengalahkan keinginan diri untuk didahulukan, maka begitu pintu dibuka bisa dipastikan semua napi bisa keluar dari rutan tersebut.
Karena untuk bisa keluar dari pintu kecil itu, hanya dibutuhkan waktu satu detik saja untuk melewatinya. Sedangkan waktu yang disediakan adalah 600 detik dengan jumlah napi 500 orang. Negeri ini penuh dengan orang yang merasa ingin didahulukan dan dipentingkan. Dan memang itu adalah watak alamiah manusia.
Bisa sampeyan saksikan bagaimana satu kemacetan luar biasa yang terjadi di kota besar manapun, selalu didahului dengan adanya individu yang merasa harus didahulukan dan dipentingkan urusannya.
Bisa berujud sopir angkot yang mengatasnamakan kemiskinan merasa berhak ngetem sembarangan, bisa juga karena pejabat yang merasa urusannya paling penting sehingga berhak menghambat lalu lintas orang lain.
Dan sebagaimana watak dasar manusia yang tak mau disalahkan, maka yang disalahkan pastilah bukan dirinya. Yang salah selalu yang lain. Bisa jadi yang disalahkan lampu lalu lintas yang mati, banjir, pembangunan busway, dan lain sebagainya.
Boleh jadi memang yang disebutkan tadi turut ambil peran dalam kemacetan. Namun kalo mau jujur, sifat ingin dirinya dipentingkan dan didahulukanlah yang menjadi pemicu utamanya. Sedang faktor lain hanya fasilitator saja.
Korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah bentuk lain dari sifat manusia yang satu ini. Ego yang menyatakan “yang penting aku”. Dimana ‘aku” nya bisa aku dan keluargaku, aku dan kroniku, aku dan bolo jembrekku atau aku dan partner petanku.
Hebatnya lagi, sifat “yang penting aku” ini bisa dibalut dengan banyak merek pembalut. Yang paling mentereng adalah pembalut merek “HAM”. Dengan pembalut ini manusia dididik untuk menuntut.
Bandingkanlah semua itu dengan ajaran wahyu yang mendidik orang untuk menunaikan kewajiban. Dengan mendidik manusia agar menunaikan kewajiban, maka hak orang akan tertunaikan sekaligus juga hak kita sendiri.
Bandingkanlah semua itu dengan ajaran wahyu yang mendidik orang untuk menunaikan kewajiban. Dengan mendidik manusia agar menunaikan kewajiban, maka hak orang akan tertunaikan sekaligus juga hak kita sendiri.
Dengan semangat mau mendahulukan kepentingan orang, maka kepentingan kita juga akan tertunaikan tanpa berkurang sedikitpun. Namun jika yang terjadi adalah jiwa “menuntut”, maka yang terjadi adalah perang kepentingan, saling tuntut, tarik ulur kepentingan dan tuntutan.
Si buruh merasa urusannya paling penting, namun juga si pengusaha merasa dirinya tak kalah penting. Si Karyawan merasa tuntutan haknya wajar, si bos juga merasa haknya berhak dia tuntut.
Si kacung merasa tuntutan hidupnya layak dipentingkan, si juragan merasa dirinya harus didahulukan. Rakyat nuntut kesejahteraan, pemimpin nuntut dirinya dipatuhi dan ditaati. Tumbu oleh tutup, bentrok yang sempurna. Kalo mau satu negeri hancur, kondisi begitulah yang harus dibangun.
Negeri ini butuh jalan keluar dari krisis sebagaimana para napi yang butuh pintu keluar dari rutan. jalan keluarnya sebenarnya sudah ada, tinggal mengatur watak manusianya saja.
Negeri ini butuh jalan keluar dari krisis sebagaimana para napi yang butuh pintu keluar dari rutan. jalan keluarnya sebenarnya sudah ada, tinggal mengatur watak manusianya saja.
Mau pilih baku hantam mementingkan dirinya sendiri, atau mau berusaha tertib serta mengalahkan ego diri dan berusaha menunaikan kewajibannya masing-masing?? Tinggal pilih saja…..