10 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya
Pepatah jawa, pitutur kembali merangkum tentang nasehat bahasa jawa tentang kehidupan, serta 10 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya.
Kata-kata Bijak Pepatah Jawa Tentang Kehidupan
1. Nyaru Wuwus
Secara lebih tegas nyaru wuwus berarti menyela pembicaraan orang lain. Bisa juga dimaknai sebagai ikut-ikutan nimbrung begitu saja pada sebuah pembicaraan yang terjadi.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah dapat diartikan sebagai berbuat yang tidak pantas (dalam) sebuah pembicaraan. Nyaru bisa dilihat akar katanya berasal dari kata “saru” yang artinya tidak pantas atau tidak senonoh. Namun istilah ini juga sering diartikan sebagai membarengi atau memotong (lalulintas pembicaraan). Sementara istilah wuwus diartikan sebagai bicara, omong, atau pembicaraan.
Secara lebih tegas nyaru wuwus berarti menyela pembicaraan orang lain. Bisa juga dimaknai sebagai ikut-ikutan nimbrung begitu saja pada sebuah pembicaraan yang terjadi.
Tindakan tersebut tentu saja mengganggu lalulintas pembicaraan atau obrolan yang tengah dilakukan oleh orang lain. Orang yang berbuat demikian dalam tata pergaulan di masyarakat Jawa dianggap tidak tahu sopan santun atau tata krama dan tindakannya dianggap memalukan.
2. Wong Jawa Kari Separo Wong Cina Karo Sajodho
Peribahasa tersebut ingin menyatakan bahwa kelak orang yang benar-benar hidup dan menghidupi budaya Jawa hanya tinggal separuh saja. Demikian pun orang Cina (di perantauan) akan mulai luntur kebudayaan aslinya.
Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti orang Jawa tinggal separuh, orang Cina tinggal satu pasang.
Peribahasa ini sesungguhnya merupakan salah satu kalimat dari sebuah ramalan dari pujangga Jawa masa lalu yang sering disebut sebagai jangka atau ramalan Jayabaya. Diduga bukan Raja Jayabaya lah yang menulis atau membuat ramalan itu, namun Sunan Giri Perapen. Kitab itu ditulis dan dikumpulkannya tahun 1618 Masehi. Namun kitab yang dipandang asli adalah karya Sunan Kadilangu/Pangeran Wijil I/Pangeran Kadilangu II.
Peribahasa ini hanya merupakan salah satu kalimat yang dituliskan dalam kitab ramalan tersebut. Ramalan tersebut berisi aneka macam persoalan berkaitan dengan prediksi masa depan Tanah Jawa plus orang yang menghuninya. Kalimat yang menjadi pepatah di atas adalah salah satunya.
Peribahasa tersebut ingin menyatakan bahwa kelak orang yang benar-benar hidup dan menghidupi budaya Jawa hanya tinggal separuh saja. Banyak orang Jawa akan meninggalkan kebudayaannya. Demikian pun orang Cina (di perantauan) akan mulai luntur kebudayaan aslinya.
Berdasarkan “ramalan” itu tidak banyak lagi orang Jawa yang mampu berbahasa Jawa, lebih-lebih bahasa krama. Demikian pun orang Cina tidak banyak lagi yang bisa berbahasa Cina (Mandarin). Tidak banyak lagi orang Jawa maupun Cina yang mengerti atau menghayati kebudayaan leluhurnya. Kini “ramalan” itu sudah terlihat buktinya.
3. Sing Nyilih Kudu Mbalekake Sing Utang Kudu Nyaur
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti yang meminjam harus mengembalikan yang (ber-) hutang harus melunasi.
Dalam pergaulan di masyarakat persoalan pinjam-meminjam atau hutang-piutang bukan merupakan hal yang asing. Di masyarakat mana pun fenomena demikian itu dapat dipastikan pasti terjadi. Dalam kondisi-kondisi terjepit atau kekurangan orang sering tidak bisa berusaha (bekerja) lagi atau katakanlah mentok oleh desakan kebutuhan hidup yang sering harus dipenuhi segera.
Orang yang tidak tahu membalas budi sering dianggap sebagai tidak tahu diri, sombong, tidak berbudi atau akhlaknya rendah. Demikian pun dalam urusan pinjam- meminjam atau hutang-piutang. Orang yang tidak mengembalikan apa yang dipinjamnya atau tidak mengembalikan apa yang menjadi hutangnya sering juga dianggap atau dicap sebagai rendah budi pekertinya, maling, pembohong, dan orang yang tidak bisa dipercayai tingkat kejujurannya.
4. Durung Tekan Titi Mangsane
Pepatah ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa semua ada saatnya. Semua kehidupan di dunia ini sesuai dengan timing atau waktunya. Pada sisi ini pepatah Jawa tersebut meyakini akan takdir atau campur tangan Tuhan dalam kehidupan, yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dengan cara apa pun.
Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti belum sampai pada saatnya.
Pepatah ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa semua ada saatnya. Semua kehidupan di dunia ini sesuai dengan timing atau waktunya. Pada sisi ini pepatah Jawa tersebut meyakini akan takdir atau campur tangan Tuhan dalam kehidupan, yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dengan cara apa pun.
Orang boleh dan memang harus berusaha dalam meningkatkan dirinya dalam hal apa saja. Orang bisa menjadi sangat pintar, sangat kaya, sangat hebat dan sebagainya namun pada saatnya ia juga harus mengakui bahwa semuanya itu bisa hilang, tidak berguna, dan lepas dari dirinya. Entah oleh karena sakit, bencana, pencurian/perampokan, dan sebagainya. Pada sisi ini apa yang disebut sebagai “saat” atau waktunya memang telah “sampai”. Kondisi ini tidak bisa ditolak atau bahkan disesali.
Apa yang disebut sebagai perjalanan nasib atau hidup seseorang di dunia mau tidak mau masuk dalam rumusan pepatah ini. Seberapa pun orang berusaha namun jika memang belum saatnya tiba usaha itu tidak akan berhasil. Namun demikian, manusia memang hanya bisa berusaha, berikhtiar, bekerja, dan seterusnya. Akan tetapi yang mengatur keberhasilan atau mengatur saatnya sudah ada, yakni Sang Maha Pencipta.
5. Kaya Pitik Trondhol Dibubuti
Pepatahan ini sesungguhnya mengiaskan akan kondisi seseorang yang sudah hidup sengsara tetapi masih harus menanggung kesengsaraan lainnya.
Papatah Jawa di atas secara harafiah berarti seperti ayam trondol (ayam yang tidak berbulu di bagian leher) atau ayam yang tidak berbulu lengkap, yang dicabuti bulunya.
Ayam trondol atau katakanlah ayam yang minim bulunya tentu saja akan semakin tersiksa jika bulunya dicabuti. Pepatahan ini sesungguhnya mengiaskan akan kondisi seseorang yang sudah hidup sengsara tetapi masih harus menanggung kesengsaraan lainnya.
Secara lebih tegas nyaru wuwus berarti menyela pembicaraan orang lain. Bisa juga dimaknai sebagai ikut-ikutan nimbrung begitu saja pada sebuah pembicaraan yang terjadi.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah dapat diartikan sebagai berbuat yang tidak pantas (dalam) sebuah pembicaraan. Nyaru bisa dilihat akar katanya berasal dari kata “saru” yang artinya tidak pantas atau tidak senonoh. Namun istilah ini juga sering diartikan sebagai membarengi atau memotong (lalulintas pembicaraan). Sementara istilah wuwus diartikan sebagai bicara, omong, atau pembicaraan.
Secara lebih tegas nyaru wuwus berarti menyela pembicaraan orang lain. Bisa juga dimaknai sebagai ikut-ikutan nimbrung begitu saja pada sebuah pembicaraan yang terjadi.
Tindakan tersebut tentu saja mengganggu lalulintas pembicaraan atau obrolan yang tengah dilakukan oleh orang lain. Orang yang berbuat demikian dalam tata pergaulan di masyarakat Jawa dianggap tidak tahu sopan santun atau tata krama dan tindakannya dianggap memalukan.
2. Wong Jawa Kari Separo Wong Cina Karo Sajodho
Peribahasa tersebut ingin menyatakan bahwa kelak orang yang benar-benar hidup dan menghidupi budaya Jawa hanya tinggal separuh saja. Demikian pun orang Cina (di perantauan) akan mulai luntur kebudayaan aslinya.
Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti orang Jawa tinggal separuh, orang Cina tinggal satu pasang.
Peribahasa ini sesungguhnya merupakan salah satu kalimat dari sebuah ramalan dari pujangga Jawa masa lalu yang sering disebut sebagai jangka atau ramalan Jayabaya. Diduga bukan Raja Jayabaya lah yang menulis atau membuat ramalan itu, namun Sunan Giri Perapen. Kitab itu ditulis dan dikumpulkannya tahun 1618 Masehi. Namun kitab yang dipandang asli adalah karya Sunan Kadilangu/Pangeran Wijil I/Pangeran Kadilangu II.
Peribahasa ini hanya merupakan salah satu kalimat yang dituliskan dalam kitab ramalan tersebut. Ramalan tersebut berisi aneka macam persoalan berkaitan dengan prediksi masa depan Tanah Jawa plus orang yang menghuninya. Kalimat yang menjadi pepatah di atas adalah salah satunya.
Peribahasa tersebut ingin menyatakan bahwa kelak orang yang benar-benar hidup dan menghidupi budaya Jawa hanya tinggal separuh saja. Banyak orang Jawa akan meninggalkan kebudayaannya. Demikian pun orang Cina (di perantauan) akan mulai luntur kebudayaan aslinya.
Berdasarkan “ramalan” itu tidak banyak lagi orang Jawa yang mampu berbahasa Jawa, lebih-lebih bahasa krama. Demikian pun orang Cina tidak banyak lagi yang bisa berbahasa Cina (Mandarin). Tidak banyak lagi orang Jawa maupun Cina yang mengerti atau menghayati kebudayaan leluhurnya. Kini “ramalan” itu sudah terlihat buktinya.
3. Sing Nyilih Kudu Mbalekake Sing Utang Kudu Nyaur
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti yang meminjam harus mengembalikan yang (ber-) hutang harus melunasi.
Dalam pergaulan di masyarakat persoalan pinjam-meminjam atau hutang-piutang bukan merupakan hal yang asing. Di masyarakat mana pun fenomena demikian itu dapat dipastikan pasti terjadi. Dalam kondisi-kondisi terjepit atau kekurangan orang sering tidak bisa berusaha (bekerja) lagi atau katakanlah mentok oleh desakan kebutuhan hidup yang sering harus dipenuhi segera.
Dalam kondisi seperti ini orang pun terpaksa meminjam atau berhutang kepada orang lain. Pinjam atau hutang kepada orang lain tentu saja memiliki tanggung jawab atau konsekuensi untuk mengembalikan atau melunasi. Akan tetapi pada kenyataannya banyak juga orang yang meminjam tetapi tidak mengembalikan, orang yang berhutang tidak melunasi hutangnya. Alasan akan hal itu tentu saja ada berbagai macam dengan versinya masing-masing.
Meminjam atau berhutang adalah bentuk dari sebuah kegiatan mengambil sebagian atau seluruh benda milik seseorang dengan suatu kesepatakan (perjanjian) antara yang meminjam dan yang dipinjami atau antara yang berhutang dengan yang memberikan piutang bahwa yang mengambil benda tersebut akan mengembalikan atau melunasinya.
Sering pula hutang atau pinjaman itu tidak berwujud benda, namun berwujud tindakan/perbuatan/buah pikiran/saran, dan lain-lain selain berbentuk benda. Dalam kerangka ini masyarakat Jawa sering menamakannya budi. Oleh karena itu ada istilah utang budi atau berhutang budi..
Meminjam atau berhutang adalah bentuk dari sebuah kegiatan mengambil sebagian atau seluruh benda milik seseorang dengan suatu kesepatakan (perjanjian) antara yang meminjam dan yang dipinjami atau antara yang berhutang dengan yang memberikan piutang bahwa yang mengambil benda tersebut akan mengembalikan atau melunasinya.
Sering pula hutang atau pinjaman itu tidak berwujud benda, namun berwujud tindakan/perbuatan/buah pikiran/saran, dan lain-lain selain berbentuk benda. Dalam kerangka ini masyarakat Jawa sering menamakannya budi. Oleh karena itu ada istilah utang budi atau berhutang budi..
Intinya, berhutang budi adalah berhutang kebaikan pada orang lain. Sungguhpun orang yang memberikan budi baik itu tidak bermaksud meminta imbalan namun yang merasa berhutang umumnya akan merasa tidak enak hati sehingga orang yang bersangkutan sering berusaha melunasi atau membalas kebaikan orang tersebut dengan kebaikan pula. Entah kebaikan itu berupa ikut membantu segala kerepotan orang yang bersangkutan atau bisa juga berupa pemberian hadiah, kado, atau bantuan-bantuan lainnya.
Orang yang tidak tahu membalas budi sering dianggap sebagai tidak tahu diri, sombong, tidak berbudi atau akhlaknya rendah. Demikian pun dalam urusan pinjam- meminjam atau hutang-piutang. Orang yang tidak mengembalikan apa yang dipinjamnya atau tidak mengembalikan apa yang menjadi hutangnya sering juga dianggap atau dicap sebagai rendah budi pekertinya, maling, pembohong, dan orang yang tidak bisa dipercayai tingkat kejujurannya.
4. Durung Tekan Titi Mangsane
Pepatah ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa semua ada saatnya. Semua kehidupan di dunia ini sesuai dengan timing atau waktunya. Pada sisi ini pepatah Jawa tersebut meyakini akan takdir atau campur tangan Tuhan dalam kehidupan, yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dengan cara apa pun.
Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti belum sampai pada saatnya.
Pepatah ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa semua ada saatnya. Semua kehidupan di dunia ini sesuai dengan timing atau waktunya. Pada sisi ini pepatah Jawa tersebut meyakini akan takdir atau campur tangan Tuhan dalam kehidupan, yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dengan cara apa pun.
Orang boleh dan memang harus berusaha dalam meningkatkan dirinya dalam hal apa saja. Orang bisa menjadi sangat pintar, sangat kaya, sangat hebat dan sebagainya namun pada saatnya ia juga harus mengakui bahwa semuanya itu bisa hilang, tidak berguna, dan lepas dari dirinya. Entah oleh karena sakit, bencana, pencurian/perampokan, dan sebagainya. Pada sisi ini apa yang disebut sebagai “saat” atau waktunya memang telah “sampai”. Kondisi ini tidak bisa ditolak atau bahkan disesali.
Apa yang disebut sebagai perjalanan nasib atau hidup seseorang di dunia mau tidak mau masuk dalam rumusan pepatah ini. Seberapa pun orang berusaha namun jika memang belum saatnya tiba usaha itu tidak akan berhasil. Namun demikian, manusia memang hanya bisa berusaha, berikhtiar, bekerja, dan seterusnya. Akan tetapi yang mengatur keberhasilan atau mengatur saatnya sudah ada, yakni Sang Maha Pencipta.
5. Kaya Pitik Trondhol Dibubuti
Papatah Jawa di atas secara harafiah berarti seperti ayam trondol (ayam yang tidak berbulu di bagian leher) atau ayam yang tidak berbulu lengkap, yang dicabuti bulunya.
Ayam trondol atau katakanlah ayam yang minim bulunya tentu saja akan semakin tersiksa jika bulunya dicabuti. Pepatahan ini sesungguhnya mengiaskan akan kondisi seseorang yang sudah hidup sengsara tetapi masih harus menanggung kesengsaraan lainnya.
Misalnya, ada seorang buruh di stasiun yang penghasilannya tidak menentu (sangat minim), tetapi dia harus menanggung biaya hidup keluarganya, biaya pajak tempat tinggalnya, iuran kampung, membayar SPP anaknya, membayar arisan istrinya, harus mengangsur tagihan kredit alat rumah tangga, harus membayar tagihan listrik dan air, harus kerja bakti kampung, dan sebagainya.
Hal semacam ini dapat diibaratkan seperti pitik trondhol dibubuti.
6. Kaya Siniram Banyu Sewindu Lawase
Pepatah atau ungkapan Jawa di atas secara harafiah berarti seperti ter (di)-siram air (yang telah didiamkan selama) satu windu lamanya.
Air yang telah didiamkan selama satu windu (8) tahun akan terasa demikian dingin. Bukan dingin seperti es atau es yang mencair, tetapi dingin yang amat menyegarkan.
Sebenarnya pepatah atau ungkapan banyu sewindu di atas lebih bersifat atau bermakna hiperbolis. Pernyataan satu windu atau delapan tahun yang dimaksudkan bukanlah ungkapan dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi merupakan ungkapan tentang perumpaan. Artinya bahwa air dingin yang amat menyegarkan itu diibaratkan seperti air yang telah mengalami penyimpnanan selama satu windu,
Pepatah di atas lebih banyak digunakan untuk menggambarkan orang yang telah berputus asa di dalam menjalani hidupnya karena sepertinya memang tidak ada lagi harapan, namun tiba-tiba saja mendapatkan pertolongan yang tidak disangka-sangka.Hal semacam ini diibaratakan seperti orang yang kehausan atau selama beberapa hari tidak mandi yang tiba-tiba saja kemudian mendapatkan air jernih dingin yang menyegarkan tanpa pernah ia duga sama sekali.
7. Mangan Kanggo Urip Ora Urip Kanggo Mangan
Pada intinya kebutuhan makan memang digunakan untuk menyelenggarakan hidup atau kehidupan. Tapi, makan bukan tujuan utama dari hidup. Makan merupakan sarana untuk hidup.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti makan untuk hidup bukan/ tidak hidup untuk makan.
Pada intinya kebutuhan makan memang digunakan untuk menyelenggarakan hidup atau kehidupan. Tapi, makan bukan tujuan utama dari hidup. Makan merupakan sarana untuk hidup. Hal makan dalam permasalahan ini bisa diartikan secara lebih luas. Jadi, bukan hanya berarti makan secara an sich.
Orang sering lupa bahwa semua hal yang berkaitan dengan sarana untuk hidup (makan) bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia. Jadi hidup manusia tidak diarahkan hanya untuk makan atau memenuhi kehidupan dan keinginan inderawi semata. Namun semuanya hanyalah merupakan sarana untuk “penyempurnaan” dan keparipurnaan manusia untuk kemudian kembali ke Sang Khalik.
Orang yang mengarahkan hidupnya hanya untuk menikmati hidup duniawiah umumnya akan mudah kehilangan orientasi cara-cara hidup yang baik dan mulia. Magnet kemenarikan dunia dapat membius manusia sehingga ia lupa akan segala macam kebaikan dan kebenaran yang memuliakan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pangkat, kedudukan, keterkenalan, kekayaan, dan lain-lain yang bersifat duniawi sifatnya hanya sementara saja dan semuanya itu bukan menjadi hakikat dari tujuan keseluruhan perjalanan hidup manusia.
8. Micakake Mata Melek Mbudhegake Kuping Krungu
Dalam pergaulan kemasyarakatan sering terjadi bahwa orang yang tahu, melihat, mendengar, dan mengerti dianggap tidak tahu apa-apa. Hal ini artinya dengan menganggap orang lain buta, tuli, tidak mengerti, dan sebagainya.
Pepatah “Micakake mata melek mbudhegake kuping krungu” secara harafiah berarti membutakan mata melek (melihat), menulikan telinga/kuping (yang) mendengar.
Dalam pergaulan kemasyarakatan sering terjadi bahwa orang yang tahu, melihat, mendengar, dan mengerti dianggap tidak tahu apa-apa. Hal ini artinya dengan menganggap orang lain buta, tuli, tidak mengerti, dan sebagainya.
Ketika orang lain melihat dengan mata kepala sendiri dan mendengar dengan lubang telinganya sendiri akan segala sesuatu, namun segala sesuatu itu di kemudian hari diingkari oleh yang melakukan sesuatu, maka hal itu sama artinya dengan membutakan orang melek dan menulikan orang yang mendengar.
Contoh kasus misalnya ada orang yang melakukan kecurangan, kebohongan, manipulasi, atau korupsi, dan lain-lain hampir selalu menganggap orang lain tidak tahu. Hampir selalu menganggap orang tidak mendengar. Jadi, pada sisi ini si pelaku sebenarnya melakukan kebohongan dan pengingkaran dengan mengandaikan/menganggap orang lain tidak (akan) tahu.
9. Midak Telek Ora Penyek
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang orang yang tidak memiliki kekuatan, tenaga, keterampilan, atau pengetahuan apa pun untuk melakukan tindakan kerja.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti menginjak kotoran (ayam) tapi kotoran itu tidak melesak (hancur).
Semestinya, kotoran ayam, bahkan kotoran binatang atau manusia adalah barang yang lunak. Tentu saja benda itu akan penyek atau hancur ketika diinjak orang atau ditekan oleh benda lain.
Pepatah ini menggambarkan tentang injakan kaki orang yang tidak bisa “memenyekkan” kotoran binatang (kotoran ayam). Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki tenaga atau kekuatan apa-apa. Tentu saja gambaran pepatah ini bersifat hiperbolis.
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang orang yang tidak memiliki kekuatan, tenaga, keterampilan, atau pengetahuan apa pun untuk melakukan tindakan kerja. Orang yang demikian dalam pergaulan masyarakat dianggap sebagai orang yang tidak berguna dalam masyarakat. Ia kehilangan fungsinya sebagai manusia yang mestinya memiliki daya guna.
10. Ngabuk Wong Meteng
Pepatah ini mengajarkan bahwa janganlah menyakiti orang yang sudah dalam kondisi atau keadaan lemah. Menyakiti orang yang lemah (fisik, materi, psikologi, kedudukan, dan lain-lain) adalah tindakan yang tidak beradab.
Pepatah tersebut secara harafiah berarti memukul (dengan tangan) orang hamil.
Wanita hamil adalah makhluk yang lemah secara fisik dan bahkan juga psikologis. Orang yang tengah hamil sangat membutuhkan perhatian, pertolongan, dan perlindungan dari orang-orang di sekitarnya. Karena itu, menyakiti orang hamil bahkan memukulnya merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.
Pepatah ini mengajarkan bahwa janganlah menyakiti orang yang sudah dalam kondisi atau keadaan lemah. Menyakiti orang yang lemah (fisik, materi, psikologi, kedudukan, dan lain-lain) adalah tindakan yang tidak beradab. Orang yang lemah seharusnya mendapatkan perlindungan, pertolongan, dan penguatan. Bukan penganiayaan (lahir, batin, politis, psikologis, sosial, ekonomi, dan sebagainya).
Hal semacam ini dapat diibaratkan seperti pitik trondhol dibubuti.
6. Kaya Siniram Banyu Sewindu Lawase
Air yang telah didiamkan selama satu windu (8) tahun akan terasa demikian dingin. Bukan dingin seperti es atau es yang mencair, tetapi dingin yang amat menyegarkan.
Sebenarnya pepatah atau ungkapan banyu sewindu di atas lebih bersifat atau bermakna hiperbolis. Pernyataan satu windu atau delapan tahun yang dimaksudkan bukanlah ungkapan dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi merupakan ungkapan tentang perumpaan. Artinya bahwa air dingin yang amat menyegarkan itu diibaratkan seperti air yang telah mengalami penyimpnanan selama satu windu,
Pepatah di atas lebih banyak digunakan untuk menggambarkan orang yang telah berputus asa di dalam menjalani hidupnya karena sepertinya memang tidak ada lagi harapan, namun tiba-tiba saja mendapatkan pertolongan yang tidak disangka-sangka.Hal semacam ini diibaratakan seperti orang yang kehausan atau selama beberapa hari tidak mandi yang tiba-tiba saja kemudian mendapatkan air jernih dingin yang menyegarkan tanpa pernah ia duga sama sekali.
7. Mangan Kanggo Urip Ora Urip Kanggo Mangan
Pada intinya kebutuhan makan memang digunakan untuk menyelenggarakan hidup atau kehidupan. Tapi, makan bukan tujuan utama dari hidup. Makan merupakan sarana untuk hidup.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti makan untuk hidup bukan/ tidak hidup untuk makan.
Pada intinya kebutuhan makan memang digunakan untuk menyelenggarakan hidup atau kehidupan. Tapi, makan bukan tujuan utama dari hidup. Makan merupakan sarana untuk hidup. Hal makan dalam permasalahan ini bisa diartikan secara lebih luas. Jadi, bukan hanya berarti makan secara an sich.
Orang sering lupa bahwa semua hal yang berkaitan dengan sarana untuk hidup (makan) bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia. Jadi hidup manusia tidak diarahkan hanya untuk makan atau memenuhi kehidupan dan keinginan inderawi semata. Namun semuanya hanyalah merupakan sarana untuk “penyempurnaan” dan keparipurnaan manusia untuk kemudian kembali ke Sang Khalik.
Orang yang mengarahkan hidupnya hanya untuk menikmati hidup duniawiah umumnya akan mudah kehilangan orientasi cara-cara hidup yang baik dan mulia. Magnet kemenarikan dunia dapat membius manusia sehingga ia lupa akan segala macam kebaikan dan kebenaran yang memuliakan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pangkat, kedudukan, keterkenalan, kekayaan, dan lain-lain yang bersifat duniawi sifatnya hanya sementara saja dan semuanya itu bukan menjadi hakikat dari tujuan keseluruhan perjalanan hidup manusia.
8. Micakake Mata Melek Mbudhegake Kuping Krungu
Dalam pergaulan kemasyarakatan sering terjadi bahwa orang yang tahu, melihat, mendengar, dan mengerti dianggap tidak tahu apa-apa. Hal ini artinya dengan menganggap orang lain buta, tuli, tidak mengerti, dan sebagainya.
Pepatah “Micakake mata melek mbudhegake kuping krungu” secara harafiah berarti membutakan mata melek (melihat), menulikan telinga/kuping (yang) mendengar.
Dalam pergaulan kemasyarakatan sering terjadi bahwa orang yang tahu, melihat, mendengar, dan mengerti dianggap tidak tahu apa-apa. Hal ini artinya dengan menganggap orang lain buta, tuli, tidak mengerti, dan sebagainya.
Ketika orang lain melihat dengan mata kepala sendiri dan mendengar dengan lubang telinganya sendiri akan segala sesuatu, namun segala sesuatu itu di kemudian hari diingkari oleh yang melakukan sesuatu, maka hal itu sama artinya dengan membutakan orang melek dan menulikan orang yang mendengar.
Contoh kasus misalnya ada orang yang melakukan kecurangan, kebohongan, manipulasi, atau korupsi, dan lain-lain hampir selalu menganggap orang lain tidak tahu. Hampir selalu menganggap orang tidak mendengar. Jadi, pada sisi ini si pelaku sebenarnya melakukan kebohongan dan pengingkaran dengan mengandaikan/menganggap orang lain tidak (akan) tahu.
9. Midak Telek Ora Penyek
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti menginjak kotoran (ayam) tapi kotoran itu tidak melesak (hancur).
Semestinya, kotoran ayam, bahkan kotoran binatang atau manusia adalah barang yang lunak. Tentu saja benda itu akan penyek atau hancur ketika diinjak orang atau ditekan oleh benda lain.
Pepatah ini menggambarkan tentang injakan kaki orang yang tidak bisa “memenyekkan” kotoran binatang (kotoran ayam). Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki tenaga atau kekuatan apa-apa. Tentu saja gambaran pepatah ini bersifat hiperbolis.
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang orang yang tidak memiliki kekuatan, tenaga, keterampilan, atau pengetahuan apa pun untuk melakukan tindakan kerja. Orang yang demikian dalam pergaulan masyarakat dianggap sebagai orang yang tidak berguna dalam masyarakat. Ia kehilangan fungsinya sebagai manusia yang mestinya memiliki daya guna.
10. Ngabuk Wong Meteng
Pepatah tersebut secara harafiah berarti memukul (dengan tangan) orang hamil.
Wanita hamil adalah makhluk yang lemah secara fisik dan bahkan juga psikologis. Orang yang tengah hamil sangat membutuhkan perhatian, pertolongan, dan perlindungan dari orang-orang di sekitarnya. Karena itu, menyakiti orang hamil bahkan memukulnya merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.
Pepatah ini mengajarkan bahwa janganlah menyakiti orang yang sudah dalam kondisi atau keadaan lemah. Menyakiti orang yang lemah (fisik, materi, psikologi, kedudukan, dan lain-lain) adalah tindakan yang tidak beradab. Orang yang lemah seharusnya mendapatkan perlindungan, pertolongan, dan penguatan. Bukan penganiayaan (lahir, batin, politis, psikologis, sosial, ekonomi, dan sebagainya).