Pepatah jawa, Peribahasa Jawa, Koleksi Pitutur
Nasehat bahasa jawa tentang kehidupan, 14 Pepatah jawa, Peribahasa Jawa, Koleksi Pitutur
1. Yen Wania ing Gampang Wedia ing Ewuh Samubarang Ora Tumeka
Pepatah ini mengajarkan agar orang tidak takut menghadapi kesulitan sejauh semuanya di dalam koridor kebenaran. Kesulitan akan mendewasakan seseorang sekaligus akan menambahkan kebijaksanaan dan pengetahuan.
Pepatah Jawa ini secara harafiah berarti bahwa berani pada hal yang mudah, (tapi) takut pada hal-hal yang sulit segala sesuatu (cita-cita) tidak akan datang (berhasil).
Hidup manusia itu sesungguhnya adalah perjuangan dari hari ke hari. Sama hakikatnya dengan bayi yang baru lahir yang tidak bisa apa-apa kemudian mulai bisa merangkak, mencoba berjalan, dan kemudian mulai bisa berlari.
Pepatah Jawa ini secara harafiah berarti bahwa berani pada hal yang mudah, (tapi) takut pada hal-hal yang sulit segala sesuatu (cita-cita) tidak akan datang (berhasil).
Hidup manusia itu sesungguhnya adalah perjuangan dari hari ke hari. Sama hakikatnya dengan bayi yang baru lahir yang tidak bisa apa-apa kemudian mulai bisa merangkak, mencoba berjalan, dan kemudian mulai bisa berlari.
Hidup pun demikian. Ketika kanak-kanak orang pun sekolah di TK kemudian SD hingga lulus perguruan tinggi. Semuanya membutuhkan perjuangan dan kerja keras.
Orang yang takut sekolah tidak akan memperoleh pengetahuan yang luas, sistematis, dan terarah. Tidak akan mengerti aneka macam aturan bersekolah serta tidak akan memiliki ijazah sebagai tolok ukur perolehan ilmu dan keterampilan yang digeluti.
Demikian pun ketika orang mulai lulus dari perguruan tinggi. Kalau ia tidak mau mulai mencari pekerjaan, ia tidak akan beroleh pekerjaan. Jika ia bekerja pun hanya mencari hal yang mudah ia tidak akan berkembang, dan seterusnya.
Pendek kata, orang yang tidak mau bersusah payah memeras keringat dan memerasa otak, orang tersebut tidak akan dapat meraih cita-citanya. Bekerja itu berat, sulit, dan membutuhkan pengorbanan. Akan tetapi demikianlah hakikat kehidupan.
Orang yang hanya mencari hal yang mudah tidak akan berkembang. Sama seperti orang yang suka nyontek, korupsi, atau memanipulasi segala sesuatu. Ia tidak akan dapat meraih cita-citanya dalam kesejatian. Hal yan ia peroleh adalah keberhasilan yang terbalut kebohongan dan kepalsuan.
Untuk itu pepatah ini mengajarkan agar orang tidak takut menghadapi kesulitan sejauh semuanya di dalam koridor kebenaran. Kesulitan akan mendewasakan seseorang sekaligus akan menambahkan kebijaksanaan dan pengetahuan. Orang yang tidak mau bekerja dan menghadapi berbagai tantangan (kesulitan) ia akan statis dan begitu-begitu saja.
2. Gegarane Wong Akrami Namung Ati Pawitane
Peribahasa itu secara harafiah berarti modal yang jadi pegangan (tongkat/tangkai) orang berumah tangga hanya hati. Perkawinan yang tidak didasari cinta yang notabene penuh syukur dan kerelaan tulus untuk membahagiakan pasangan akan menimbulkan perjalanan perkawinan yang penuh hitung-hitungan.
Kalimat di atas menjadi salah satu peribahasa yang cukup populer di Jawa. Peribahasa itu secara harafiah berarti modal yang jadi pegangan (tongkat/tangkai) orang berumah tangga hanya hati. Jadi, untuk terjadinya perkawinan masing-masing pria dan wanita memang harus saling tertarik atau jatuh hati terlebih dulu.
Orang yang takut sekolah tidak akan memperoleh pengetahuan yang luas, sistematis, dan terarah. Tidak akan mengerti aneka macam aturan bersekolah serta tidak akan memiliki ijazah sebagai tolok ukur perolehan ilmu dan keterampilan yang digeluti.
Demikian pun ketika orang mulai lulus dari perguruan tinggi. Kalau ia tidak mau mulai mencari pekerjaan, ia tidak akan beroleh pekerjaan. Jika ia bekerja pun hanya mencari hal yang mudah ia tidak akan berkembang, dan seterusnya.
Pendek kata, orang yang tidak mau bersusah payah memeras keringat dan memerasa otak, orang tersebut tidak akan dapat meraih cita-citanya. Bekerja itu berat, sulit, dan membutuhkan pengorbanan. Akan tetapi demikianlah hakikat kehidupan.
Orang yang hanya mencari hal yang mudah tidak akan berkembang. Sama seperti orang yang suka nyontek, korupsi, atau memanipulasi segala sesuatu. Ia tidak akan dapat meraih cita-citanya dalam kesejatian. Hal yan ia peroleh adalah keberhasilan yang terbalut kebohongan dan kepalsuan.
Untuk itu pepatah ini mengajarkan agar orang tidak takut menghadapi kesulitan sejauh semuanya di dalam koridor kebenaran. Kesulitan akan mendewasakan seseorang sekaligus akan menambahkan kebijaksanaan dan pengetahuan. Orang yang tidak mau bekerja dan menghadapi berbagai tantangan (kesulitan) ia akan statis dan begitu-begitu saja.
2. Gegarane Wong Akrami Namung Ati Pawitane
Peribahasa itu secara harafiah berarti modal yang jadi pegangan (tongkat/tangkai) orang berumah tangga hanya hati. Perkawinan yang tidak didasari cinta yang notabene penuh syukur dan kerelaan tulus untuk membahagiakan pasangan akan menimbulkan perjalanan perkawinan yang penuh hitung-hitungan.
Kalimat di atas menjadi salah satu peribahasa yang cukup populer di Jawa. Peribahasa itu secara harafiah berarti modal yang jadi pegangan (tongkat/tangkai) orang berumah tangga hanya hati. Jadi, untuk terjadinya perkawinan masing-masing pria dan wanita memang harus saling tertarik atau jatuh hati terlebih dulu.
Peribahasa ini tidak menganjurkan perkawinan terjadi atau dilakukan tidak atas dasar saling mencintai. Oleh karenanya hati merupakan modal utama.
Ketika dua pria dan wanita saling jatuh hati, maka segala macam tantangan, hambatan, dan kesulitan yang dihadapi akan terasa menjadi ringan karena semua dilakukan atau dihadapi dengan hati penuh cinta, penuh kasih.
Hal demikian berbeda misalnya dengan perkawinan yang tidak didasari hati (cinta). Perkawinan yang tidak didasari cinta yang notabene penuh syukur dan kerelaan tulus untuk membahagiakan pasangan akan menimbulkan perjalanan perkawinan yang penuh hitung-hitungan. Semacam hitung-hitungan rugi laba.
Hitung-hitungan semacam itu pada akhirnya akan menimbulkan pemikiran dan sikap egoisme pada diri masing-masing orang yang terikat perkawinan. Masing-masing hanya berpikir untuk untung dan kesenangannya sendiri, bukan untuk pasangan hidup dan keluarganya.
Hati adalah modal utama untuk melakukan tindakan yang baik. Persoalan ekonomi dan biaya perkawinan adalah sebuah konsekuensi dari perhelatan perkawinan. Hal demikian bisa disikapi dengan sederhana atau bermewah-mewah. Hati pulalah yang menentukan hal demikian.
Intinya, sesuatu yang diawali dari hati yang tulus dalam mencintai akan melahirkan jalan ke depan yang lebih ringan, terang, dan tenteram. Tentu saja hati yang tulus idealnya jauh dari pengkhianatan, penipuan, dan kepalsuan.
3. Golekana Tapake Kuntul Mabur
Pepatah bangau terbang dan telapak kakinya tidak bisa dicari (tidak kelihatan) sesungguhnya ingin menyatakan bahwa jika manusia bisa mengosongkan diri (dilambangkan dengan melambung terbang), maka ia akan bisa merasakan atau mengetahui hakikat kehidupan dirinya.
Pepatah atau sanepan Jawa di atas secara harafiah berarti carilah telapak (kaki) (burung) kuntul (sejenis bangau) terbang.
Burung bangau yang terbang tidak akan kelihatan telapak kakinya. Jika ia terbang juga tidak akan meninggalkan bekas jejak-jejak kakinya. Sekalipun peran tapak kaki sebagai penyangga tubuhnya menjadi “hilang” karena aktivitas terbangnya, namun ia tetap bisa terbang.
Bagaimana bisa ia melambungkan tubuhnya di angkasa padahal tidak ada yang menyangga tubuhnya. Tidak pula ada yang menggantung di tubuhnya. Pada sisi inilah pepatah ini ingin memberikan tekanan pengertiannya.
Pepatah bangau terbang dan telapak kakinya tidak bisa dicari (tidak kelihatan) sesungguhnya ingin menyatakan bahwa jika manusia bisa mengosongkan diri (dilambangkan dengan melambung terbang), maka ia akan bisa merasakan atau mengetahui hakikat kehidupan dirinya. Jati dirinya dalam pertautannya dengan kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Mengosongkan diri artinya melepaskan segala keinginan dan hasrat memiliki (pamrih) akan segala sesuatu, baik itu harta benda, pangkat, derajat, ketenaran, kehormatan, pujian, dan lain-lain. Dengan demikian ia akan semakin menyadari tentang bagaimana ia bisa berada dan meng-ada di dunia ini.
Ketika dua pria dan wanita saling jatuh hati, maka segala macam tantangan, hambatan, dan kesulitan yang dihadapi akan terasa menjadi ringan karena semua dilakukan atau dihadapi dengan hati penuh cinta, penuh kasih.
Hal demikian berbeda misalnya dengan perkawinan yang tidak didasari hati (cinta). Perkawinan yang tidak didasari cinta yang notabene penuh syukur dan kerelaan tulus untuk membahagiakan pasangan akan menimbulkan perjalanan perkawinan yang penuh hitung-hitungan. Semacam hitung-hitungan rugi laba.
Hitung-hitungan semacam itu pada akhirnya akan menimbulkan pemikiran dan sikap egoisme pada diri masing-masing orang yang terikat perkawinan. Masing-masing hanya berpikir untuk untung dan kesenangannya sendiri, bukan untuk pasangan hidup dan keluarganya.
Hati adalah modal utama untuk melakukan tindakan yang baik. Persoalan ekonomi dan biaya perkawinan adalah sebuah konsekuensi dari perhelatan perkawinan. Hal demikian bisa disikapi dengan sederhana atau bermewah-mewah. Hati pulalah yang menentukan hal demikian.
Intinya, sesuatu yang diawali dari hati yang tulus dalam mencintai akan melahirkan jalan ke depan yang lebih ringan, terang, dan tenteram. Tentu saja hati yang tulus idealnya jauh dari pengkhianatan, penipuan, dan kepalsuan.
3. Golekana Tapake Kuntul Mabur
Pepatah bangau terbang dan telapak kakinya tidak bisa dicari (tidak kelihatan) sesungguhnya ingin menyatakan bahwa jika manusia bisa mengosongkan diri (dilambangkan dengan melambung terbang), maka ia akan bisa merasakan atau mengetahui hakikat kehidupan dirinya.
Pepatah atau sanepan Jawa di atas secara harafiah berarti carilah telapak (kaki) (burung) kuntul (sejenis bangau) terbang.
Burung bangau yang terbang tidak akan kelihatan telapak kakinya. Jika ia terbang juga tidak akan meninggalkan bekas jejak-jejak kakinya. Sekalipun peran tapak kaki sebagai penyangga tubuhnya menjadi “hilang” karena aktivitas terbangnya, namun ia tetap bisa terbang.
Bagaimana bisa ia melambungkan tubuhnya di angkasa padahal tidak ada yang menyangga tubuhnya. Tidak pula ada yang menggantung di tubuhnya. Pada sisi inilah pepatah ini ingin memberikan tekanan pengertiannya.
Pepatah bangau terbang dan telapak kakinya tidak bisa dicari (tidak kelihatan) sesungguhnya ingin menyatakan bahwa jika manusia bisa mengosongkan diri (dilambangkan dengan melambung terbang), maka ia akan bisa merasakan atau mengetahui hakikat kehidupan dirinya. Jati dirinya dalam pertautannya dengan kehidupan yang dijalaninya di dunia.
Mengosongkan diri artinya melepaskan segala keinginan dan hasrat memiliki (pamrih) akan segala sesuatu, baik itu harta benda, pangkat, derajat, ketenaran, kehormatan, pujian, dan lain-lain. Dengan demikian ia akan semakin menyadari tentang bagaimana ia bisa berada dan meng-ada di dunia ini.
Bagaimana ia bisa hidup, jantungnya terus berdetak tanpa ia sendiri bisa memerintahkannya untuk berhenti atau beristirahat sebentar. Sisi-sisi inilah misteri tentang eksistensi atau meng-ada-nya manusia.
Kesadaran pada aspek yang demikian itu akan mendorong manusia semakin menyadari akan hakikat Sang Khalik, Sang Pencipta. Kepasrahan dan menyandarkan diri sepenuhnya kepada Tuhan merupakan bagian dari kesadaran diri dalam golekana tapake kuntul mabur.
4. Golekana Galihing Kangkung
Orang yang dapat mencapai galihing kangkung adalah orang yang bisa mengalahkan dirinya sendiri. Artinya, orang yang bisa mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu, keinginan, dan ambisi yang mengotori hati atau jiwa.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti carilah teras kangkung.
Tanaman kangkung tidak memiliki teras karena batangnya berongga. Artinya, batang dari tanaman kangkung berisi udara atau kosong. Jadi, siapa pun yang mencoba mencari teras dari tanaman kangkung tidak akan menemukannya.
Pepatah ini mengandung ajaran agar manusia bisa mengosongkan dirinya. Dengan mengosongkan diri manusia dapat menyerap atau “mendengarkan” suara hati nuraninya.
Dengan mengosongkan diri bisa memilah mana yang hakikat, mana yang palsu. Mana yang sejatinya sungguh-sungguh kebenaran dan mana yang sejatinya penuh rekayasa, munafik, palsu, basa-basi, tersembunyi, bertopeng, bohong, pura-pura, curang, dan jahat.
Orang yang dapat mencapai galihing kangkung adalah orang yang bisa mengalahkan dirinya sendiri. Artinya, orang yang bisa mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu, keinginan, dan ambisi yang mengotori hati atau jiwa.
Hati dan jiwa yang kotor, penuh dengan nafsu dan ambisi yang tidak teratur diibaratkan seperti wadah yang termuati aneka macam barang yang tidak karuan sehingga jiwa atau wadah itu menjadi “penuh”. Untuk menjernihkan jiwa, maka jiwa perlu dibawa kepada “kekosongan” atau keheningan seperti kosongnya teras atau galih kangkung.
5. Golekana Susuhing Angin
Susuh angin adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan itu sendiri yakni Sang Khalik.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti carilah sarangnya angin.
Untuk melakukan aktivitas berdasarkan arti harafiah dari kalimat di atas tentu saja mustahil dilakukan manusia. Siapa di antara manusia yang tahu tempat dari sarang angin.
Pepatah di atas juga sering diartikan sebagai carilah suh (pengikat sapu) angin. Tentu saja hal ini juga merupakan aktivitas atau pekerjaan yang mustahil dilakukan. Siapakah makhluk hidup di dunia ini yang dapat mengikat angin seperti mengikat lidi untuk menjadi sapu.
Hal tersebut di atas memang tidak bisa dimaknai semata-mata pada sisi lahiriah atau harafiahnya. Kalimat pepatah di atas adalah sebuah metafora. Pepatah tersebut ingin mengajak manusia agar mau mencari pusat angin yang menjadi sumber dari kehidupan manusia.
Pada intinya susuh atau sarang angin bagi manusia terletak di paru-parunya. Artinya di paru-paru itulah angin (oksigen) diserap untuk kehidupannya. Sebab jika manusia tidak bernapas ia mati. Artinya, susuh angin adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan itu sendiri yakni Sang Khalik.
Untuk itulah, agar manusia selamat (dunia dan akhirat) ia harus bisa mencari sang pemberi sumber kehidupan. Jika orang tidak mengenali atau dapat menemukan sang sumber pemberi kehidupan, artinya ia tidak bisa mengenali siapa sesungguhnya dirinya serta tidak mengenali pula siapa penciptanya dan yang memberi kehidupan kepadanya.
Jika manusia memang tidak mengenalinya, maka ia sama saja dengan benda mati. Tidak hidup. Tidak mengerti tentang hidup dan kehidupan.
6. Rahayuning Bawana Kapurba Waskithaning Manungsa
Pepatah ini secara lebih jauh ingin menegaskan bahwa penyelenggaraan dunia... ditentukan bukan saja oleh karena kecerdasan atau kepintaran manusia semata, namun juga oleh kewaskithaan atau kebijaksanaannya.
Pepatah atau nasihat Jawa tersebut secara harafiah berarti keselamatan dunia (karena) terkelola (oleh) kebijaksanaan/kecerdasan manusia.
Pengelolaan dunia memang dikodratkan untuk dapat dikelola oleh manusia. Jika manusia dapat mengelolanya dengan baik tentunya dunia ini akan aman dan makmur. Akan tetapi jika manusia tidak bisa mengelolanya dengan baik maka dunia ini akan rusak dan menimbulkan banyak bencana, kematian, atau penyakit.
Kesadaran pada aspek yang demikian itu akan mendorong manusia semakin menyadari akan hakikat Sang Khalik, Sang Pencipta. Kepasrahan dan menyandarkan diri sepenuhnya kepada Tuhan merupakan bagian dari kesadaran diri dalam golekana tapake kuntul mabur.
4. Golekana Galihing Kangkung
Orang yang dapat mencapai galihing kangkung adalah orang yang bisa mengalahkan dirinya sendiri. Artinya, orang yang bisa mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu, keinginan, dan ambisi yang mengotori hati atau jiwa.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti carilah teras kangkung.
Tanaman kangkung tidak memiliki teras karena batangnya berongga. Artinya, batang dari tanaman kangkung berisi udara atau kosong. Jadi, siapa pun yang mencoba mencari teras dari tanaman kangkung tidak akan menemukannya.
Pepatah ini mengandung ajaran agar manusia bisa mengosongkan dirinya. Dengan mengosongkan diri manusia dapat menyerap atau “mendengarkan” suara hati nuraninya.
Dengan mengosongkan diri bisa memilah mana yang hakikat, mana yang palsu. Mana yang sejatinya sungguh-sungguh kebenaran dan mana yang sejatinya penuh rekayasa, munafik, palsu, basa-basi, tersembunyi, bertopeng, bohong, pura-pura, curang, dan jahat.
Orang yang dapat mencapai galihing kangkung adalah orang yang bisa mengalahkan dirinya sendiri. Artinya, orang yang bisa mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu, keinginan, dan ambisi yang mengotori hati atau jiwa.
Hati dan jiwa yang kotor, penuh dengan nafsu dan ambisi yang tidak teratur diibaratkan seperti wadah yang termuati aneka macam barang yang tidak karuan sehingga jiwa atau wadah itu menjadi “penuh”. Untuk menjernihkan jiwa, maka jiwa perlu dibawa kepada “kekosongan” atau keheningan seperti kosongnya teras atau galih kangkung.
5. Golekana Susuhing Angin
Susuh angin adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan itu sendiri yakni Sang Khalik.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti carilah sarangnya angin.
Untuk melakukan aktivitas berdasarkan arti harafiah dari kalimat di atas tentu saja mustahil dilakukan manusia. Siapa di antara manusia yang tahu tempat dari sarang angin.
Pepatah di atas juga sering diartikan sebagai carilah suh (pengikat sapu) angin. Tentu saja hal ini juga merupakan aktivitas atau pekerjaan yang mustahil dilakukan. Siapakah makhluk hidup di dunia ini yang dapat mengikat angin seperti mengikat lidi untuk menjadi sapu.
Hal tersebut di atas memang tidak bisa dimaknai semata-mata pada sisi lahiriah atau harafiahnya. Kalimat pepatah di atas adalah sebuah metafora. Pepatah tersebut ingin mengajak manusia agar mau mencari pusat angin yang menjadi sumber dari kehidupan manusia.
Pada intinya susuh atau sarang angin bagi manusia terletak di paru-parunya. Artinya di paru-paru itulah angin (oksigen) diserap untuk kehidupannya. Sebab jika manusia tidak bernapas ia mati. Artinya, susuh angin adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan itu sendiri yakni Sang Khalik.
Untuk itulah, agar manusia selamat (dunia dan akhirat) ia harus bisa mencari sang pemberi sumber kehidupan. Jika orang tidak mengenali atau dapat menemukan sang sumber pemberi kehidupan, artinya ia tidak bisa mengenali siapa sesungguhnya dirinya serta tidak mengenali pula siapa penciptanya dan yang memberi kehidupan kepadanya.
Jika manusia memang tidak mengenalinya, maka ia sama saja dengan benda mati. Tidak hidup. Tidak mengerti tentang hidup dan kehidupan.
6. Rahayuning Bawana Kapurba Waskithaning Manungsa
Pepatah ini secara lebih jauh ingin menegaskan bahwa penyelenggaraan dunia... ditentukan bukan saja oleh karena kecerdasan atau kepintaran manusia semata, namun juga oleh kewaskithaan atau kebijaksanaannya.
Pepatah atau nasihat Jawa tersebut secara harafiah berarti keselamatan dunia (karena) terkelola (oleh) kebijaksanaan/kecerdasan manusia.
Pengelolaan dunia memang dikodratkan untuk dapat dikelola oleh manusia. Jika manusia dapat mengelolanya dengan baik tentunya dunia ini akan aman dan makmur. Akan tetapi jika manusia tidak bisa mengelolanya dengan baik maka dunia ini akan rusak dan menimbulkan banyak bencana, kematian, atau penyakit.
Pendeknya, baik-buruk, damai-perang, rusak-lestari dunia berada di tangan manusia itu sendiri. Jika manusia memang salah urus tentang hal itu maka dunia tidak akan selamat termasuk penghuninya.
Pepatah ini secara lebih jauh ingin menegaskan bahwa penyelenggaraan dunia bukanlah perkara yang mudah dan dapat dilakukan semaunya. Pengelolaannya ditentukan bukan saja oleh karena kecerdasan atau kepintaran manusia semata, namun juga oleh kewaskithaan atau kebijaksanaannya.
Pepatah ini secara lebih jauh ingin menegaskan bahwa penyelenggaraan dunia bukanlah perkara yang mudah dan dapat dilakukan semaunya. Pengelolaannya ditentukan bukan saja oleh karena kecerdasan atau kepintaran manusia semata, namun juga oleh kewaskithaan atau kebijaksanaannya.
Kepintaran atau kepandaian tanpa kebijaksanaan sering menimbulkan blunder atau keblinger pada banyak persoalan.
7. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane
Dalam pepatah itu dikandung makna bahwa manusia itu bisa selamat dunia-akhirat karena kemanusiaannya. Jadi, jika manusia tidak memiliki kemanusiaan, manusia tersebut tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Selamat dalam hal ini tidak hanya berarti tidak mati.
Pepatah atau nasihat Jawa di atas secara harafiah berarti keselamatan manusia terjadi karena kemanusiaannya.
Keselamatan yang dimaksudkan dalam pepatah Jawa tersebut tidak hanya bersangkutan dengan keselamatan fisik atau duniawi/jasmani saja, melainkan juga keselamatan yang berkaitan dengan akhirat atau kerohanian.
Dalam pepatah itu dikandung makna bahwa manusia itu bisa selamat dunia-akhirat karena kemanusiaannya. Jadi, jika manusia tidak memiliki kemanusiaan, manusia tersebut tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Selamat dalam hal ini tidak hanya berarti tidak mati.
Selamat pada pepatah ini diartikan demikian luas yang bisa meliputi tidak sakit, tidak sengsara, tidak menderita, tidak diganggu, tidak tertekan, dan sebagainya yang intinya mengacu pada pengertian selamat, sehat, makmur, tenteram, jauh dari segala macam persoalan yang membuat diri menderita secara batin.
7. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane
Dalam pepatah itu dikandung makna bahwa manusia itu bisa selamat dunia-akhirat karena kemanusiaannya. Jadi, jika manusia tidak memiliki kemanusiaan, manusia tersebut tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Selamat dalam hal ini tidak hanya berarti tidak mati.
Pepatah atau nasihat Jawa di atas secara harafiah berarti keselamatan manusia terjadi karena kemanusiaannya.
Keselamatan yang dimaksudkan dalam pepatah Jawa tersebut tidak hanya bersangkutan dengan keselamatan fisik atau duniawi/jasmani saja, melainkan juga keselamatan yang berkaitan dengan akhirat atau kerohanian.
Dalam pepatah itu dikandung makna bahwa manusia itu bisa selamat dunia-akhirat karena kemanusiaannya. Jadi, jika manusia tidak memiliki kemanusiaan, manusia tersebut tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Selamat dalam hal ini tidak hanya berarti tidak mati.
Selamat pada pepatah ini diartikan demikian luas yang bisa meliputi tidak sakit, tidak sengsara, tidak menderita, tidak diganggu, tidak tertekan, dan sebagainya yang intinya mengacu pada pengertian selamat, sehat, makmur, tenteram, jauh dari segala macam persoalan yang membuat diri menderita secara batin.
Selain itu, hidupnya juga penuh kebajikan pada semua makhluk dan alam semesta sebagai wujud bahwa dirinya bertakwa kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, hidupnya penuh berkah bagi diri sendiri, sesama, dan dunia. Hal demikianlah yang diartikan sebagai selamat.
Semuanya itu dapat tercapai jika manusia memelihara aspek kemanusiaannya. Jika manusia kehilangan akan hal itu, manusia akan dikemudikan oleh nafsu dan insting kebinatangan. Angkara murka akan merajai hatinya.
Semuanya itu dapat tercapai jika manusia memelihara aspek kemanusiaannya. Jika manusia kehilangan akan hal itu, manusia akan dikemudikan oleh nafsu dan insting kebinatangan. Angkara murka akan merajai hatinya.
Demikian pula segala macam tipu daya busuk, arogansi, dan lain-lain akan mudah mengeram di hatinya. Jika demikian halnya manusia tersebut sesungguhnya tengah menjalani proses pada hidup yang ”tidak selamat”, dan sekaligus tidak ada manfaatnya bagi sesama dan dunia.
8. Tiji Tibeh
Semua menanggung segala sesuatunya secara bersama dan menikmati segala sesuatunya secara bersama-sama pula dengan porsi yang kurang lebih punya nilai sama sesuai kedudukan, prestasi, produktivitas, integritas, dan dedikasi masing-masing.
Ungkapan atau pepatah Jawa tersebut sesungguhnya merupakan akronim dari mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh. Secara harafiah mukti sama artinya dengan makmur, tenang, dan tenteram. Kata mati dalam bahasa Jawa sama artinya dengan makna kata mati dalam bahasa Indonesia. Sementara kabeh dapat diartikan sebagai semua.
Tiji tibeh digunakan sebagai motto oleh Pangeran Samber Nyawa alias Raden Mas Said yang kemudian bergelar Sri Mangkunegara I (1757-1792). Motto atau semboyan tiji tibeh ini digunakan oleh Pangeran Samber Nyawa untuk menyemangati, menyatukan, dan menggerakkan pasukannya dalam melawan Belanda.
Dengan semangat tiji tibeh ini militansi pasukan Pangeran Samber Nyawa menjadi terjaga. Mereka kuat menanggung derita bersama-sama. Mereka juga sangat bersemangat mengejar cita-cita atau kemakmuran, kehormatan, dan kehidupan nyaman tenteram di hari tua mereka.
Tiji tibeh merupakan semboyan yang menjadikan mereka yang berjuang atas landasan ini merasakan suka duka bersama-sama. Semua menanggung segala sesuatunya secara bersama dan menikmati segala sesuatunya secara bersama-sama pula dengan porsi yang kurang lebih punya nilai sama sesuai kedudukan, prestasi, produktivitas, integritas, dan dedikasi masing-masing.
Semua menanggung segala sesuatunya secara bersama dan menikmati segala sesuatunya secara bersama-sama pula dengan porsi yang kurang lebih punya nilai sama sesuai kedudukan, prestasi, produktivitas, integritas, dan dedikasi masing-masing.
Ungkapan atau pepatah Jawa tersebut sesungguhnya merupakan akronim dari mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh. Secara harafiah mukti sama artinya dengan makmur, tenang, dan tenteram. Kata mati dalam bahasa Jawa sama artinya dengan makna kata mati dalam bahasa Indonesia. Sementara kabeh dapat diartikan sebagai semua.
Tiji tibeh digunakan sebagai motto oleh Pangeran Samber Nyawa alias Raden Mas Said yang kemudian bergelar Sri Mangkunegara I (1757-1792). Motto atau semboyan tiji tibeh ini digunakan oleh Pangeran Samber Nyawa untuk menyemangati, menyatukan, dan menggerakkan pasukannya dalam melawan Belanda.
Dengan semangat tiji tibeh ini militansi pasukan Pangeran Samber Nyawa menjadi terjaga. Mereka kuat menanggung derita bersama-sama. Mereka juga sangat bersemangat mengejar cita-cita atau kemakmuran, kehormatan, dan kehidupan nyaman tenteram di hari tua mereka.
Tiji tibeh merupakan semboyan yang menjadikan mereka yang berjuang atas landasan ini merasakan suka duka bersama-sama. Semua menanggung segala sesuatunya secara bersama dan menikmati segala sesuatunya secara bersama-sama pula dengan porsi yang kurang lebih punya nilai sama sesuai kedudukan, prestasi, produktivitas, integritas, dan dedikasi masing-masing.
9. Ora Tedhas Tapak Paluning Pandhe Sisaning Gurinda
Orang yang tidak mempan dibacok atau tidak luka dipukul dengan logam (senjata) hasil olahan pande besi disebut sebagai orang yang ora tedhas tapak paluning pande sisaning gurinda.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti tidak mempan bekas palu (dan) sisa gerinda.
Bekas tapak palu dan pande mengacu pada pengertian besi atau logam yang ditempa. Logam yang ditempa umumnya memang menyisakan bekas tapak (telapak/permukaan) palu (martil) sebagai salah satu alat tempa. Juga menyisakan (merekam) tapak pande (alas tempa).
Sisa gerinda juga mengacu pada pengertian tentang logam yang ditajamkan atau dihaluskan dengan menggunakan alat pertukangan yang dinamakan gerinda. Salah satu fungsi gerinda memang untuk menajamkan, mengupam, meratakan, menghaluskan alat-alat pertanian, senjata, alat dapur (pisau), dan sebagainya.
Pepatah tersebut secara lebih luas ingin menerangkan tentang orang yang memiliki kesaktian sehingga tubuhnya kebal dari tusukan segala macam logam hasil tempaan dan penajaman oleh gerinda. Logam yang dimaksud adalah segala macam senjata hasil karya para pande besi. Orang yang tidak mempan dibacok atau tidak luka dipukul dengan logam (senjata) hasil olahan pande besi disebut sebagai orang yang ora tedhas tapak paluning pande sisaning gurinda.
Kekebalan banyak diburu orang utamanya oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang olah kanuragan, kemiliteran, atau orang-orang yang bergerak dalam bidang keamanan. Hal demikian oleh orang-orang tersebut dianggap penting untuk menjaga diri dan menjaga keamanan.
10. Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh
Sawiji berarti satu, menyatu, terpadu. Greget dimaknai sebagai gigih, semangat, kerja keras dan dinamis. Sengguh bermakna percaya diri dalam bertindak tanpa congkak atau besar kepala (tetap rendah hati).
Sesanti, wasiat wejangan, atau pusaka wejangan tersebut dipercayai merupakan konsepsi yang berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Dalam perkembangannya sesanti atau wejangan yang sekaligus juga bisa dimaknai sebagai peribahasa Jawa ini digunakan sebagai filosofi yang mendasari joget (seni tari) Mataram Yogyakarta, juga menjadi dasar filosofi bagi jiwa ksatria Mataram Yogyakarta.
Sawiji berarti satu, menyatu, terpadu. Greget dimaknai sebagai gigih, semangat, kerja keras dan dinamis. Sengguh bermakna percaya diri dalam bertindak tanpa congkak atau besar kepala (tetap rendah hati). Ora mingkuh berarti tidak akan mundur dalam menghadapai tantangan, risiko, maupun halangan. Ora mingkuh dapat dimaknai juga sebagai tidak lari dari tanggung jawab.
Wejangan tersebut diharapkan menjadi paugeran atau pedoman dalam bertingkah laku bagi seluruh masyarakat Yogyakarta seperti harapan Sultan Hamengku Buwana I.
Orang yang tidak mempan dibacok atau tidak luka dipukul dengan logam (senjata) hasil olahan pande besi disebut sebagai orang yang ora tedhas tapak paluning pande sisaning gurinda.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti tidak mempan bekas palu (dan) sisa gerinda.
Bekas tapak palu dan pande mengacu pada pengertian besi atau logam yang ditempa. Logam yang ditempa umumnya memang menyisakan bekas tapak (telapak/permukaan) palu (martil) sebagai salah satu alat tempa. Juga menyisakan (merekam) tapak pande (alas tempa).
Sisa gerinda juga mengacu pada pengertian tentang logam yang ditajamkan atau dihaluskan dengan menggunakan alat pertukangan yang dinamakan gerinda. Salah satu fungsi gerinda memang untuk menajamkan, mengupam, meratakan, menghaluskan alat-alat pertanian, senjata, alat dapur (pisau), dan sebagainya.
Pepatah tersebut secara lebih luas ingin menerangkan tentang orang yang memiliki kesaktian sehingga tubuhnya kebal dari tusukan segala macam logam hasil tempaan dan penajaman oleh gerinda. Logam yang dimaksud adalah segala macam senjata hasil karya para pande besi. Orang yang tidak mempan dibacok atau tidak luka dipukul dengan logam (senjata) hasil olahan pande besi disebut sebagai orang yang ora tedhas tapak paluning pande sisaning gurinda.
Kekebalan banyak diburu orang utamanya oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang olah kanuragan, kemiliteran, atau orang-orang yang bergerak dalam bidang keamanan. Hal demikian oleh orang-orang tersebut dianggap penting untuk menjaga diri dan menjaga keamanan.
10. Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh
Sawiji berarti satu, menyatu, terpadu. Greget dimaknai sebagai gigih, semangat, kerja keras dan dinamis. Sengguh bermakna percaya diri dalam bertindak tanpa congkak atau besar kepala (tetap rendah hati).
Sesanti, wasiat wejangan, atau pusaka wejangan tersebut dipercayai merupakan konsepsi yang berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Dalam perkembangannya sesanti atau wejangan yang sekaligus juga bisa dimaknai sebagai peribahasa Jawa ini digunakan sebagai filosofi yang mendasari joget (seni tari) Mataram Yogyakarta, juga menjadi dasar filosofi bagi jiwa ksatria Mataram Yogyakarta.
Sawiji berarti satu, menyatu, terpadu. Greget dimaknai sebagai gigih, semangat, kerja keras dan dinamis. Sengguh bermakna percaya diri dalam bertindak tanpa congkak atau besar kepala (tetap rendah hati). Ora mingkuh berarti tidak akan mundur dalam menghadapai tantangan, risiko, maupun halangan. Ora mingkuh dapat dimaknai juga sebagai tidak lari dari tanggung jawab.
Wejangan tersebut diharapkan menjadi paugeran atau pedoman dalam bertingkah laku bagi seluruh masyarakat Yogyakarta seperti harapan Sultan Hamengku Buwana I.
11. Singa Papa Ngulati Mangsa
Dalam kepapaannya singa itu pun hanya bisa ngulati (mengamati) mangsa (makanan atau hal yang dibutuhkan dalam hidupnya) dari kejauhan saja. Ia tidak bisa mendekati atau menerkamnya. Segala dayanya telah habis.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti singa melarat (tua dan sakit-sakitan) mengawasi/mencari mangsa.
Singa adalah biantang buas yang perkasa dan sering disebut sebagai raja hutan karena kekuatannya yang nyaris tidak tertandingi oleh jenis binatang lain. Singa dalam pepatah ini menjadi simbol atau lambang dari orang yang sangat kaya di masa mudanya. Namun ketika menjelang tua kekayaannya lenyap (bangkrut).
Dalam kepapaannya singa itu pun hanya bisa ngulati (mengamati) mangsa (makanan atau hal yang dibutuhkan dalam hidupnya) dari kejauhan saja. Ia tidak bisa mendekati atau menerkamnya. Segala dayanya telah habis.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti singa melarat (tua dan sakit-sakitan) mengawasi/mencari mangsa.
Singa adalah biantang buas yang perkasa dan sering disebut sebagai raja hutan karena kekuatannya yang nyaris tidak tertandingi oleh jenis binatang lain. Singa dalam pepatah ini menjadi simbol atau lambang dari orang yang sangat kaya di masa mudanya. Namun ketika menjelang tua kekayaannya lenyap (bangkrut).
Dalam kepapaannya singa itu pun hanya bisa ngulati (mengamati) mangsa (makanan atau hal yang dibutuhkan dalam hidupnya) dari kejauhan saja. Ia tidak bisa mendekati atau menerkamnya. Segala dayanya telah habis.
Singa papa ngulati mangsa sering digunakan untuk menggambarkan orang yang pernah jaya secara material di masa lalu, namun kemudian menderita bangkrut di masa tuanya dan ia tidak bisa lagi menikmati segala hal yang berkaitan dengan materi, ketenaran, kedudukan, dan popularitas di masa lalunya. Bahkan ia hanya bisa memandangi itu semua dari kejauhan.
Singa papa ngulati mangsa sering digunakan untuk menggambarkan orang yang pernah jaya secara material di masa lalu, namun kemudian menderita bangkrut di masa tuanya dan ia tidak bisa lagi menikmati segala hal yang berkaitan dengan materi, ketenaran, kedudukan, dan popularitas di masa lalunya. Bahkan ia hanya bisa memandangi itu semua dari kejauhan.
12. Car Cor Kaya Kurang Janganan
Pepatah ini sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku orang yang suka ikut-ikutan bicara (menyela pembicaraan) orang lain. Sikap seperti itu dalam pergaulan umum (masyarakat Jawa) dianggap sebagai mengganggu, saru, dan tidak sopan.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti car cor seperti kurang sayur (-an).
Pepatah ini sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku orang yang suka ikut-ikutan bicara (menyela pembicaraan) orang lain. Sikap seperti itu dalam pergaulan umum (masyarakat Jawa) dianggap sebagai mengganggu, saru, dan tidak sopan.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti car cor seperti kurang sayur (-an).
Car cor adalah ungkapan untuk melukiskan berulang-ulangnya penuangan cairan (benda cair) ke dalam wadah. Dalam konteks ini car cor yang dimaksudkan adalah penuangan berkali-kali sayur (dan atau kuahnya) ke dalam piring yang telah berisi nasi.
Penuangan sayur berkali-kali ke dalam piring berisi nasi itu menunjukkan bahwa nasi atau hidangan tersebut kurang sayur (untuk kelengkapan bersantap).
Pepatah ini sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku orang yang suka ikut-ikutan bicara (menyela pembicaraan) orang lain. Sikap seperti itu dalam pergaulan umum (masyarakat Jawa) dianggap sebagai mengganggu, saru, dan tidak sopan.
Hal itu menunjukkan bahwa diri orang tersebut demikian bernafsu serta tidak sabaran untuk menunggu orang lain selesai bicara, Selain itu, hal seperti ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut sok tahu atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai keminter.
13. Suket Godhong Dadi Rowang (Rewang)
Jika rumput dan daun saja yang dalam hal ini dianggap tidak terlalu bernilai dapat menjadi temannya, apalagi benda atau makhluk lain.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti rumput daun (men)-jadi teman/kawan.
Pepatah ini ingin menggambarkan bahwa rumput dan daun pun dapat menjadi teman, yang bisa dipercaya, dan diandalkan. Bukan hanya diandalkan untuk membantu di dalam segala kesulitan dan kerepotan. Akan tetapi juga dapat diandalkan atau dipercaya dalam hal-hal lain, seperti tidak bohong dan tidak berkhianat alias tulus hatinya.
Jika rumput dan daun saja yang dalam hal ini dianggap tidak terlalu bernilai dapat menjadi temannya, apalagi benda atau makhluk lain.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti rumput daun (men)-jadi teman/kawan.
Pepatah ini ingin menggambarkan bahwa rumput dan daun pun dapat menjadi teman, yang bisa dipercaya, dan diandalkan. Bukan hanya diandalkan untuk membantu di dalam segala kesulitan dan kerepotan. Akan tetapi juga dapat diandalkan atau dipercaya dalam hal-hal lain, seperti tidak bohong dan tidak berkhianat alias tulus hatinya.
Tidak bermuslihat untuk kepentingan dan keberuntungan dirinya sendiri, tidak mengorbankan dan menjatuhkan temannya, dan sebagainya.
Rumput dan daun menjadi teman dalam arti luas dapat dimaknai sebagai segala sesuatu mendukung orang (subyek) yang bersangkutan. Jika rumput dan daun saja yang dalam hal ini dianggap tidak terlalu bernilai dapat menjadi temannya, apalagi benda atau makhluk lain.
Rumput dan daun menjadi teman dalam arti luas dapat dimaknai sebagai segala sesuatu mendukung orang (subyek) yang bersangkutan. Jika rumput dan daun saja yang dalam hal ini dianggap tidak terlalu bernilai dapat menjadi temannya, apalagi benda atau makhluk lain.
Secara lebih luas pepatah jawa ini ingin menyatakan tentang orang yang bernasib mujur atau selalu beruntung. Di dalam kemujuran apa pun halnya akan membuat si orang mujur tetap mujur.
14. Wong Jawa Iku Panggone Semu
Semu bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak langsung, penuh simbol, perumpamaan, sindiran, sanepan, dan hal-hal yang bersifat terselubung.
Pepatah atau ungkapan Jawa di atas secara harafiah berarti orang Jawa itu tempatnya semu (simbol).
Semu dalam pengertian di atas bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak langsung, penuh simbol, perumpamaan, sindiran, sanepan, dan hal-hal yang bersifat terselubung. Hal yang bersifat semu biasa terjadi dalam hubungan antarorang di masyarakat Jawa.
Hal-hal yang bersifat langsung, terus terang, dan terbuka bagi masyarakat Jawa sering dianggap sebagai kasar, saru, kurang sopan, belum mengerti atau tidak tanggap terhadap segala sesuatu, atau bahkan bodoh (tidak peka/tidak cerdas).
14. Wong Jawa Iku Panggone Semu
Semu bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak langsung, penuh simbol, perumpamaan, sindiran, sanepan, dan hal-hal yang bersifat terselubung.
Pepatah atau ungkapan Jawa di atas secara harafiah berarti orang Jawa itu tempatnya semu (simbol).
Semu dalam pengertian di atas bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak langsung, penuh simbol, perumpamaan, sindiran, sanepan, dan hal-hal yang bersifat terselubung. Hal yang bersifat semu biasa terjadi dalam hubungan antarorang di masyarakat Jawa.
Hal-hal yang bersifat langsung, terus terang, dan terbuka bagi masyarakat Jawa sering dianggap sebagai kasar, saru, kurang sopan, belum mengerti atau tidak tanggap terhadap segala sesuatu, atau bahkan bodoh (tidak peka/tidak cerdas).
Baca juga: Gugon Tuhon Peribahasa Jawa Dan Artinya
Artikel terkait: