Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya
Pepatah Jawa Atau Peribahasa jawa. Berikut adalah Kumpulan nasehat bahasa jawa tentang kehidupan, serta pepatah jawa tentang kehidupan dan artinya.
Pepatah jawa tentang kehidupan dan artinya | Nasehat bahasa jawa tentang kehidupan.
Sekiranya artikel ini bermanfaat untuk para pembaca, kali ini pitutur merangkum tentang kumpulan Pepatah Jawa. Pepatah jawa yakni kalimat singkat akan tetapi, mengandung arti dan makna di setiap kalimatnya. Orang jawa sering menyebutnya “PARIBASAN ”.
Pepatah jawa ini sebenarnya sangat erat berhubungan dengan kehidupan kita. Dari ungkapan kalimat yang tertera, banyak terdapat juga tentang Nasehat, Motivasi dan lain sebagianya. Luar biasa memang, dengan kalimat singkat, pepatah jawa ini mampu memuat maksud dan tujuan, serta gambaran dan juga perumpamaan tentang berbagai hal yang tidak atau di lakukan oleh kita (manusia).
Di bawah ini adalah pepatah jawa tentang kehidupan dan artinya yang pitutur rangkum serta kumpulkan. Selamat membaca, dan jangan lupa sruput kopi.
1. Arti Pepatah Jawa Bandha Bau
Banyak orang yang mengandalkan hidupnya hanya dengan kekuatan otot. Artinya, faktor kepandaian otaknya tidak dominan dalam karya atau kerjanya.
Pekerjaan atau profesi dan bakat serta kemampuan manusia satu dengan yang lainnya beragam. Ada yang dikaruniai kepandaian (olah pikir), ada pula yang dikaruniai keterampilan dan kekuatan (otot).
Banyak orang yang mengandalkan hidupnya hanya dengan kekuatan otot. Artinya, faktor kepandaian otaknya tidak dominan dalam karya atau kerjanya. Dalam pergaulan masyarakat Jawa lantas muncul ungkapan atau peribahasa yang tujuannya untuk merendahkan diri, yakni bandha bau atau mung pawitan bau. Hal demikian dapat dicontohkan dalam percakapan berikut.
Hal lain dapat dicontohkan dengan orang yang mengabdi/ikut numpang hidup/ngenger kepada orang lain. Orang yang demikian umumnya juga akan mengatakan bahwa dirinya hanya bandha bau untuk numpang hidup pada orang lain. Artinya, ia memang menyediakan dirinya untuk disuruh kerja atau melakukan apa saja oleh orang yang menampungnya (yang diabdinya).
Kadang-kadang dalam hal demikian harga diri orang yang bersangkutan tidak lagi merasa perlu dipikirkan karena hidupnya sudah digadaikan sepenuhnya pada orang yang menampungnya. Orang yang demikian kadang-kadang juga tidak lagi mau berpikir lagi tentang hakikat baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak, dari apa yang dilakukan tuan atau orang yang diabdinya yang penting dengan bandha bau (tanpa perlu berpikir) ia bisa numpang hidup pada orang yang dipertuannya.
Pepatah ini mengimbau agar manusia yang hidup di dunia ini tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri atau egois.
Pepatah atau peribahasa Jawa “Aja mung mikir wudele dhewe” secara harafiah berarti jangan hanya memikirkan udel (perut)-nya sendiri. Pepatah ini dalam bahasa Indonesia sejajar dengan ungkapan jangan seenak perutnya sendiri.
Pada intinya pepatah ini mengimbau agar manusia yang hidup di dunia ini tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri atau egois. Janganlah punya sikap hidup yang hanya diorientasikan bagi keuntungan, kekayaan, kenikmatan, kepopuleran, kehormatannya sendiri tanpa pernah memikirkan lingkungan sekitarnya.
Orang yang hanya manut wudele dhewe umumnya tidak akan setia pada kesepakatan atau aturan bersama. Ia hanya akan berpikir dan mencari cara/celah/kesempatan hanya bagi kepentingan diri pribadinya, keluarganya, kliknya, atau kelompoknya saja.
Pekerjaan atau profesi dan bakat serta kemampuan manusia satu dengan yang lainnya beragam. Ada yang dikaruniai kepandaian (olah pikir), ada pula yang dikaruniai keterampilan dan kekuatan (otot).
Banyak orang yang mengandalkan hidupnya hanya dengan kekuatan otot. Artinya, faktor kepandaian otaknya tidak dominan dalam karya atau kerjanya. Dalam pergaulan masyarakat Jawa lantas muncul ungkapan atau peribahasa yang tujuannya untuk merendahkan diri, yakni bandha bau atau mung pawitan bau. Hal demikian dapat dicontohkan dalam percakapan berikut.
“Kowe nyambut gawe ana ngendi ?” (Kamu bekerja di mana)
“Ah, mung mburuh wae. Bandha bau thok kok.” (Ah, hanya memburuh saja. Bermodalkan tenaga saja)
Kadang-kadang dalam hal demikian harga diri orang yang bersangkutan tidak lagi merasa perlu dipikirkan karena hidupnya sudah digadaikan sepenuhnya pada orang yang menampungnya. Orang yang demikian kadang-kadang juga tidak lagi mau berpikir lagi tentang hakikat baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak, dari apa yang dilakukan tuan atau orang yang diabdinya yang penting dengan bandha bau (tanpa perlu berpikir) ia bisa numpang hidup pada orang yang dipertuannya.
2. Arti Pepatah Jawa Aja Mung Mikir Wudele Dhewe
Pepatah ini mengimbau agar manusia yang hidup di dunia ini tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri atau egois.
Pada intinya pepatah ini mengimbau agar manusia yang hidup di dunia ini tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri atau egois. Janganlah punya sikap hidup yang hanya diorientasikan bagi keuntungan, kekayaan, kenikmatan, kepopuleran, kehormatannya sendiri tanpa pernah memikirkan lingkungan sekitarnya.
Orang yang hanya manut wudele dhewe umumnya tidak akan setia pada kesepakatan atau aturan bersama. Ia hanya akan berpikir dan mencari cara/celah/kesempatan hanya bagi kepentingan diri pribadinya, keluarganya, kliknya, atau kelompoknya saja.
Perkara orang lain menderita oleh karena ulah dan perbuatannya orang tersebut tidak mempedulikannya. Pokoknya, asal udel (atau diri sendiri nikmat, untung, populer, disanjung) orang lain tidak dipedulikan, meskipun menjadi korban.
Pepatah ini bermakna nasihat agar orang jangan mudah silau pada kekayaan dan harta benda. Sebab harta benda bisa menyesatkan, bisa membuat orang melek tetapi tidak melihat.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti jangan silau pada harta benda.
Umumnya orang akan demikian tercengang-cengang, terkagum-kagum, terpesona berat pada orang lain yang mampu memiliki harta kekayaan berlimpah dan bergelimang kemewahan. Orang pun tanpa disadari langsung menaruh hormat berat kepada orang-orang yang bergelimang harta benda tanpa pernah melihat hakikat, perilaku, atau watak dari orang yang bersangkutan. Intinya, asal ada orang kaya, orang lain akan mudah silau kepada harta benda dia, dan langsung “takluk”.
Pepatah ini bermakna nasihat agar orang jangan mudah silau pada kekayaan dan harta benda. Sebab harta benda bisa menyesatkan, bisa membuat orang melek tetapi tidak melihat. Salah satu kasusnya adalah jika di suatu kampung ada orang kaya, umumnya masyarakat langsung menaruh hormat begitu saja kepada dia.
Jika si orang kaya mempunyai hajat atau kerepotan, maka orang kampung berbondong-bondong berusaha datang untuk “setor muka.” Sementara kalau ada orang miskin mempunyai hajat atau keperluan yang sama, belum tentu orang kampung akan berbuat (berbondong-bondong) datang untuk membantu si miskin. Hal yang demikian membuat orang tidak bisa berlaku adil dan jujur.
Padahal harta benda yang berlimpah belum tentu berkah. Artinya, harta itu belum tentu diperoleh dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal. Contohnya, orang-orang berkelimpahan harta benda yang ditangkapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata harta bendanya diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar. Orang-orang yang mendukung dan hormat pada orang yang bersangkutan akhirnya kecele dan kecewa.
Pada intinya, aja blereng marang banda mengingatkan kita bahwa harta benda yang menyilaukan itu sangat mungkin justru menyesatkan dan menggelapkan hati nurani.
Intinya orang tidak bisa memutuskan perkara, masalah, persoalan, gagasannya sendiri saja. Kecuali memang hal yang bersifat sangat individual. Akan tetapi persoalan yang menyangkut orang banyak harus selalu dibicarakan dengan orang banyak atau perwakilannya.
Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti ada perkara/pembicaraan/persoalan harus dibicarakan/dipecahkan/dimusyawarahkan.
Pada galibnya dalam manusia hidup di dunia tidak akan pernah lepas dari persoalan atau masalah. Namun masalah atau persoalan itu bisa dipecahkan atau dicarikan solusinya dengan cara berembuk/bermusyawarah/berdiskusi/rapat/sarasehan, dan sejenisnya.
3. Arti Pepatah Jawa Aja Blereng Marang Bandha
Pepatah ini bermakna nasihat agar orang jangan mudah silau pada kekayaan dan harta benda. Sebab harta benda bisa menyesatkan, bisa membuat orang melek tetapi tidak melihat.
Umumnya orang akan demikian tercengang-cengang, terkagum-kagum, terpesona berat pada orang lain yang mampu memiliki harta kekayaan berlimpah dan bergelimang kemewahan. Orang pun tanpa disadari langsung menaruh hormat berat kepada orang-orang yang bergelimang harta benda tanpa pernah melihat hakikat, perilaku, atau watak dari orang yang bersangkutan. Intinya, asal ada orang kaya, orang lain akan mudah silau kepada harta benda dia, dan langsung “takluk”.
Pepatah ini bermakna nasihat agar orang jangan mudah silau pada kekayaan dan harta benda. Sebab harta benda bisa menyesatkan, bisa membuat orang melek tetapi tidak melihat. Salah satu kasusnya adalah jika di suatu kampung ada orang kaya, umumnya masyarakat langsung menaruh hormat begitu saja kepada dia.
Jika si orang kaya mempunyai hajat atau kerepotan, maka orang kampung berbondong-bondong berusaha datang untuk “setor muka.” Sementara kalau ada orang miskin mempunyai hajat atau keperluan yang sama, belum tentu orang kampung akan berbuat (berbondong-bondong) datang untuk membantu si miskin. Hal yang demikian membuat orang tidak bisa berlaku adil dan jujur.
Padahal harta benda yang berlimpah belum tentu berkah. Artinya, harta itu belum tentu diperoleh dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal. Contohnya, orang-orang berkelimpahan harta benda yang ditangkapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata harta bendanya diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar. Orang-orang yang mendukung dan hormat pada orang yang bersangkutan akhirnya kecele dan kecewa.
Pada intinya, aja blereng marang banda mengingatkan kita bahwa harta benda yang menyilaukan itu sangat mungkin justru menyesatkan dan menggelapkan hati nurani.
4. Arti Pepatah Jawa Ana Rembug Dirembug
Intinya orang tidak bisa memutuskan perkara, masalah, persoalan, gagasannya sendiri saja. Kecuali memang hal yang bersifat sangat individual. Akan tetapi persoalan yang menyangkut orang banyak harus selalu dibicarakan dengan orang banyak atau perwakilannya.
Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti ada perkara/pembicaraan/persoalan harus dibicarakan/dipecahkan/dimusyawarahkan.
Hal itu menjadi petunjuk bahwa orang tidak bisa memecahkan persoalan atau permasalahan yang dihadapinya dengan berjalan sendiri. Selalu dibutuhkan bantuan dari orang lain, entah apa pun wujud bantuan itu. Mungkin sekadar saran, dorongan moril, atau hal lain seperti material, jasa, dan sebagainya.
Intinya orang tidak bisa memutuskan perkara, masalah, persoalan, gagasannya sendiri saja. Kecuali memang hal yang bersifat sangat individual. Akan tetapi persoalan yang menyangkut orang banyak harus selalu dibicarakan dengan orang banyak atau perwakilannya. Tidak bisa diputuskan sendiri. Jika hal ini dilakukan, maka orang banyak tersebut belum tentu menerima.
Pepatah di atas juga mengandaikan bahwa setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Oleh karena itu setiap orang yang mempunyai persoalan perlu berbicara atau berembuk dengan orang lain untuk pemecahan atau jalan keluarnya.
Intinya orang tidak bisa memutuskan perkara, masalah, persoalan, gagasannya sendiri saja. Kecuali memang hal yang bersifat sangat individual. Akan tetapi persoalan yang menyangkut orang banyak harus selalu dibicarakan dengan orang banyak atau perwakilannya. Tidak bisa diputuskan sendiri. Jika hal ini dilakukan, maka orang banyak tersebut belum tentu menerima.
Pepatah di atas juga mengandaikan bahwa setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Oleh karena itu setiap orang yang mempunyai persoalan perlu berbicara atau berembuk dengan orang lain untuk pemecahan atau jalan keluarnya.
Memutuskan pemecahan persoalan seorang diri tentu bukan menjadi masalah jika itu memang persoalan yang sangat pribadi. Namun setiap perkara yang dihadapai manusia hampir selalu menyangkut manusia lain. Untuk itulah perlunya rembukan dengan manusia lainnya.
Dalam bahasa Indonesia mungkin pepatah ini relatif setara artinya dengan persengkongkolan atau kongkalikong atau patgulipat.
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harafiah dapat diartikan sebagai dudutan (orang-orang sawah/memedi sawah) dan anculan (tali yang dihubungkan dengan orang-orangan sawah).
Dudutan atau orang-orangan sawah ini akan bergerak-gerak jika tali (anculan) yang menghubungkannya ditarik. Umumnya ujung tali atau dudutan ini berada di gubuk tempat orang menjaga sawah. Dudutan ini dipasang di sawah untuk menakut-nakuti atau mengusir burung. Dudutan akan bergerak jika anculan digerakkan dari gubuk. Jadi dudutan hanya akan bergerak jika memang ada sinyal dari tali yang digerakkan dari gubuk.
Dudutan lan anculan secara lebih luas ingin menyatakan tentang kesepakatan (buruk/jahat/gelap) dari dua atau lebih orang. Oleh karena kesepakatan yang demikian, maka orang akan saling memberikan sinyal atau kode tertentu untuk tujuan tertentu (mencelakai atau mempermalukan) orang lain atau untuk keuntungan kelompok, klik, atau komunitas mereka saja.
Dudutan lan anculan setara maknanya dengan pepatah gedhek lan anthuk (menggeleng dan mengangguk). Dalam bahasa Indonesia mungkin pepatah ini relatif setara artinya dengan persengkongkolan atau kongkalikong atau patgulipat.
5. Arti Pepatah Jawa Dudutan lan Anculan
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harafiah dapat diartikan sebagai dudutan (orang-orang sawah/memedi sawah) dan anculan (tali yang dihubungkan dengan orang-orangan sawah).
Dudutan atau orang-orangan sawah ini akan bergerak-gerak jika tali (anculan) yang menghubungkannya ditarik. Umumnya ujung tali atau dudutan ini berada di gubuk tempat orang menjaga sawah. Dudutan ini dipasang di sawah untuk menakut-nakuti atau mengusir burung. Dudutan akan bergerak jika anculan digerakkan dari gubuk. Jadi dudutan hanya akan bergerak jika memang ada sinyal dari tali yang digerakkan dari gubuk.
Dudutan lan anculan secara lebih luas ingin menyatakan tentang kesepakatan (buruk/jahat/gelap) dari dua atau lebih orang. Oleh karena kesepakatan yang demikian, maka orang akan saling memberikan sinyal atau kode tertentu untuk tujuan tertentu (mencelakai atau mempermalukan) orang lain atau untuk keuntungan kelompok, klik, atau komunitas mereka saja.
Dudutan lan anculan setara maknanya dengan pepatah gedhek lan anthuk (menggeleng dan mengangguk). Dalam bahasa Indonesia mungkin pepatah ini relatif setara artinya dengan persengkongkolan atau kongkalikong atau patgulipat.
6. Arti Pepatah Jawa Becik Sethithik Cukup Tinimbang Akeh Kurang
Pepatah ini mengajarkan nilai bahwa perihal cukup, puas, menerima, dan bersyukur atas segala sesuatu yang dimiliki jauh lebih utama dibandingkan dengan kelimpahan yang tidak pernah diterima, atau selalu dirsakan kurang, atau tidak pernah disyukuri.
Pepatah ini mengajarkan nilai bahwa perihal cukup, puas, menerima, dan bersyukur atas segala sesuatu yang dimiliki jauh lebih utama dibandingkan dengan kelimpahan yang tidak pernah diterima, atau selalu dirsakan kurang, atau tidak pernah disyukuri.
Manusia hidup di dunia ini membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi sekaligus rohani. Dalam hal duniawi orang sering merasa, bahkan dapat dikatakan, selalu merasa kurang. Lebih-lebih jika melihat orang di kanan kirinya yang memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya. Contohnya, ada orang yang hidup bersahaja.
Dalam kebersahajaan itu orang yang bersangkutan merasa bersyukur atas segala yang didapat dan dinikmatinya. Ia mampu menerima dirinya yang memang dalam kenyataan pendapatannya hanya bisa digunakan untuk hidup secara bersahaja. Dengan sikap penerimaan yang demikian hidupnya menjadi lebih tenteram dan damai.
Sebaliknya ada orang yang berkedudukan tinggi, penghasilannya berlimpah. Namun ia selalu merasa kurang puas atas apa yang dimilikinya. Sudah punya tanah luas dan rumah mewah serta mobil mewah masih menginginkan mobil mewah dan rumah mewah yang lebih dari satu jumlahnya.
Sebaliknya ada orang yang berkedudukan tinggi, penghasilannya berlimpah. Namun ia selalu merasa kurang puas atas apa yang dimilikinya. Sudah punya tanah luas dan rumah mewah serta mobil mewah masih menginginkan mobil mewah dan rumah mewah yang lebih dari satu jumlahnya.
Sudah makan semua menu yang disajikan di restoran terkenal di kotanya masih menginginkan bisa makan makanan dari restoran-restoran di luar kota atau bahkan di luar negeri. Sudah punya tabungan dalam jumlah miliaran masih berusaha menumpuk uangnya dalam jumlah triliunan. Demikian seterusnya.
Sekalipun kaya ia tidak pernah merasa cukup. Akibatnya orang yang bersangkutan tidak pernah merasa tenteram dan damai di dalam hidupnya. Hal yang ada di dalam dirinya hanyalah perasaan ingin memiliki dan menguasai segala sesuatu, semuanya. Selain itu, apabila hartanya tiba-tiba berkurang atau hilang, orang itu akan merasa amat sangat menyesal, seolah hatinya melekat pada harta atau benda yang dimilikinya itu.
Sekalipun kaya ia tidak pernah merasa cukup. Akibatnya orang yang bersangkutan tidak pernah merasa tenteram dan damai di dalam hidupnya. Hal yang ada di dalam dirinya hanyalah perasaan ingin memiliki dan menguasai segala sesuatu, semuanya. Selain itu, apabila hartanya tiba-tiba berkurang atau hilang, orang itu akan merasa amat sangat menyesal, seolah hatinya melekat pada harta atau benda yang dimilikinya itu.
7. Arti Pepatah Jawa Gupuh Lungguh Suguh
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti segera duduk di-(suguh)-i. Pepatah ini berkaitan erat dengan etika atau tatakrama dalam menerima tamu.
Gupuh yang berarti segera atau menyegerakan diri dimaksudkan agar orang yang kedatangan tamu segera menyambut tamu tersebut. Jangan sampai tamu yang berkunjung dibiarkan berlama-lama menunggu tuan rumah.
Lungguh yang diartikan sebagai duduk dimaksudkan agar tamu yang berkunjung segera dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan oleh tuan rumah. Jangan sampai tamu yang sudah masuk ke dalam rumah tidak segera ditawari untuk duduk. Jika hal itu terjadi, maka tuan rumah dianggap tidak sopan atau tidak tanggap akan tatakrama.
Suguh dimaksudkan agar orang yang menjadi tuan rumah hendaknya segera pula menyuguhkan sesuatu kepada tamu setelah tamu sudah duduk di kursi yang disediakan. Suguhan kepada tamu tidak menuntut makanan atau minuman yang mewah. Suguhan kepad tamu bisa berupa sekadar segelas air putih atau teh.
Nilai dari suguhan itu tidak terletak pada materi yang disuguhkan, namun pada pelayanan kepada tamu dengan ikhlas. Hal ini menunjukkan bahwa sang tuan rumah memiliki adat tatakrama yang baik.
Maka pepatah tersebut menjadi semacam rambu atau pedoman bagi masyarakat Jawa masa lalu untuk menunjukkan perhatian dan penghargaan kepada tamu yang sekaligus juga untuk menunjukkan tingkat kehalusan budi pekerti sang tuan rumah.
8. Arti Pepatah Jawa Wong Kleyang Kabur Kanginan
Pepatah wong kleyang kabur kanginan secara luas sebenarnya ingin menggambarkan tentang kondisi seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal, hidup dan berjalan tidak tentu arah, serta tidak tahu akan tujuan hidupnya sendiri.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti orang (yang) (seperti) terbang/melayang tertiup angin.
Istilah kabur mengacu pada pengertian lepas diterbangkan/tertiup angin. Contoh dari kasus ini misalnya diterbanglepaskannya benda-benda ringan (kertas, daun kering, plastik, dan sebagainya) oleh tiupan angin yang keras.
Pepatah wong kleyang kabur kanginan secara luas sebenarnya ingin menggambarkan tentang kondisi seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal, hidup dan berjalan tidak tentu arah, serta tidak tahu akan tujuan hidupnya sendiri. Hal seperti ini bisa dilihat atau diamati di tengah-tengah masyarakat dengan adanya gelandangan atau tuna wisma yang umumnya juga tuna karya.
9. Arti Pepatah Jawa Udhu-udhu Klungsu
Dalam sebuah permainan yang menggunakan taruhan, entah itu taruhan uang, kelereng, gambar, dan seterusnya nilai taruhan yang dianggap berlaku atau disetujui adalah benda-benda yang telah disebutkan di atas. Jadi jika ada orang ikut dalam permainan tersebut dan ternyata orang yang bersangkutan kalah, maka ia harus menyerahkan udhu atau iurannya kepada pihak yang menang.
Dapat juga berupa tenaga, pemikiran (gagasan), dan sebagainya. Pendeknya bisa berupa hal-hal yang bersifat material atau nonmaterial. Ada pula orang yang ikut udhu atau iuran entah berupa benda atau non benda yang mungkin nilainya tidak seberapa.
Akan tetapi sekalipun nilainya tidak seberapa orang tersebut sesungguhnya telah ikut iuran atau memberikan seumbangannya. Iuran atau sumbangan yang dianggap tidak begitu memiliki nilai itu dalam masyarakat Jawa sering disebut sebagai udhu-udhu klungsu.
10. Arti Pepatah Jawa Kaya Ketiban Daru (NDARU)
Wahyu, anugerah, atau keberuntungan sering begitu saja datang menghinggapi seseorang tanpa pernah diketahui atau direncanakan. Ada banyak contoh mengenai orang yang hidupnya seperti ketiban ndaru.
Misalnya saja ada orang yang sejak sekolah SD hingga Perguruan Tinggi nilai sangat pas-pasan dan bahkan beberapa kali tidak naik kelas, namun tiba-tiba hidupnya bergelimah harta. Apa saja yang dikerjakannya diterima orang atau dipercaya orang.
Hasil pekerjaannya laku di mana-mana. Laris. Banyak permintaan. Padahal ketika orang tersebut mengerjakan pekerjaan itu dulunya hanya sambil lalu atau tidak serius, tetapi ternyata diminati begitu banyak orang.
Keberuntungan, wahyu, atau anugerah bisa datang kepada siapa saja. Bisa datang dan terjadi tanpa rencana manusia atau di luar pemikiran manusia. Orang yang disebut kaya ketiban ndaru adalah orang yang benar-benar mendapatkan kelimpahan keberuntungan.
Keberuntungan, wahyu, atau anugerah bisa datang kepada siapa saja. Bisa datang dan terjadi tanpa rencana manusia atau di luar pemikiran manusia. Orang yang disebut kaya ketiban ndaru adalah orang yang benar-benar mendapatkan kelimpahan keberuntungan.
Demikian artikel tentang Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya, sebenarnya masih sangat banyak pepatah jawa atau peribahasa jawa yang lain, namun nanti akan kita sambung lagi. Semoga bermanfaat untuk pembaca di Pitutur.
Artikel terkait: