Keris sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO
Keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi. Keris telah menjadi bagian dari warisan budaya dunia berdasarkan pengakuan UNESCO.
UNESCO, Keris Indonesia sebagai Karya Adiluhung Warisan Budaya
Keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi, namun juga dalam di sisi filosofinya. Mengenakan keris dengan berbagai posisi pun memiliki nilai-nilai simbolik tersendiri.
Keris telah menjadi bagian dari warisan budaya dunia berdasarkan pengakuan UNESCO sebagai The Masterpiece of the Oral and Intangible of Humanity pada tanggal 25 November 2005. Pengakuan dari UNESCO itu hendaknya mendorong masyarakat perkerisan Indonesia untuk berpartisipasi melestarikannya.
Dalam rangka itu pula Komunitas Budaya Yogya Semesta menggelar diskusi budaya dengan tema Mangayubagya Keris Indonesia sebagai Karya Adiluhung Warisan Kemanusiaan, Dialog Budaya dan Gelar Seni “Yogya Semesta” Seri ke-72. Seperti biasa, diskusi dilaksanakan di Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Diskusi menghadirkan narasumber antara lain GBPH. H. Drs. Yudhaningrat, MM., Ir. Herman Suparno, Ki Juru Bangunjiwa (Sugeng Wiyono), dan Ir. Nino Guritno dengan moderator Hari Dendi dan Martha Sasongko.
Acara tersebut juga dimeriahkan dengan pergelaran Ensamble Musik Gesek IENA dengan pimpinan dan music director, Wisnu Samudra yang menghadirkan repertoar The Piece Warrior diiringi Tari Balet “Keris” yang melibatkan 15 orang prajurit TNI Korem-072 Pamungkas, Empowering Light, Mahameru, The Thousanda Padma’s, The Golden Wall, dan beberapa repertoar lain.
Semangat pelestarian keris Indonesia perlu terus dilakukan bukan dengan alasan karena ada penghargaan dari UNESCO, namun karena kesadaran diri bahwa keris mengandung nilai-nilai luhur, karya luar biasa dari bangsa Indonesia.
Keris memiliki nilai seni tinggi dan diciptakan dengan teknologi tinggi yang dimiliki oleh para empu. Keris juga merupakan simbol nilai peradaban. Keris dibuat sejak berabad-abad yang lampau (diperkirakan sejak abad ke-7 Masehi) dan terus hidup hingga kini dan menjadi bagian identitas atau simbol peradaban masyarakat pendukungnya. Selain itu, keris juga mempunyai nilai sosial tinggi, nilai politis, dan juga nilai ekonomis.
Secara khusus GBPH. H. Yudhaningrat menyatakan bahwa keris merupakan bagian dari kelanjutan budaya adiluhung yang wajib dilestarikan. Selain itu, ada empat cara pandang terhadap jenis keris menurut Gusti Yudha, yakni:
Keris telah menjadi bagian dari warisan budaya dunia berdasarkan pengakuan UNESCO sebagai The Masterpiece of the Oral and Intangible of Humanity pada tanggal 25 November 2005. Pengakuan dari UNESCO itu hendaknya mendorong masyarakat perkerisan Indonesia untuk berpartisipasi melestarikannya.
Dalam rangka itu pula Komunitas Budaya Yogya Semesta menggelar diskusi budaya dengan tema Mangayubagya Keris Indonesia sebagai Karya Adiluhung Warisan Kemanusiaan, Dialog Budaya dan Gelar Seni “Yogya Semesta” Seri ke-72. Seperti biasa, diskusi dilaksanakan di Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Diskusi menghadirkan narasumber antara lain GBPH. H. Drs. Yudhaningrat, MM., Ir. Herman Suparno, Ki Juru Bangunjiwa (Sugeng Wiyono), dan Ir. Nino Guritno dengan moderator Hari Dendi dan Martha Sasongko.
Acara tersebut juga dimeriahkan dengan pergelaran Ensamble Musik Gesek IENA dengan pimpinan dan music director, Wisnu Samudra yang menghadirkan repertoar The Piece Warrior diiringi Tari Balet “Keris” yang melibatkan 15 orang prajurit TNI Korem-072 Pamungkas, Empowering Light, Mahameru, The Thousanda Padma’s, The Golden Wall, dan beberapa repertoar lain.
Semangat pelestarian keris Indonesia perlu terus dilakukan bukan dengan alasan karena ada penghargaan dari UNESCO, namun karena kesadaran diri bahwa keris mengandung nilai-nilai luhur, karya luar biasa dari bangsa Indonesia.
Keris memiliki nilai seni tinggi dan diciptakan dengan teknologi tinggi yang dimiliki oleh para empu. Keris juga merupakan simbol nilai peradaban. Keris dibuat sejak berabad-abad yang lampau (diperkirakan sejak abad ke-7 Masehi) dan terus hidup hingga kini dan menjadi bagian identitas atau simbol peradaban masyarakat pendukungnya. Selain itu, keris juga mempunyai nilai sosial tinggi, nilai politis, dan juga nilai ekonomis.
Jenis keris dan manfaatnya
- Jenis keris untuk pisowanan,
- Jenis keris untuk acara mirunggan,
- Jenis keris sebagai warisan, dan jenis keris sebagai barang yang diperjualbelikan.
Baca juga: Awalnya Besi Yang Ditempa Lantas Jadilah Keris
Jenis Keris untuk pisowanan biasanya adalah keris pusaka yang terbaik yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan jenis keris untuk acara mirunggan (khusus/tertentu) dapat dicontohkan misalnya keris untuk perang atau ijab adalah jenis keris yang memang dikhususkan untuk keperluan tersebut.
Misalnya Kanjeng Kyai Kopek adalah jenis keris yang sering disimbolkan sebagai wakil atau sosok yang dapat menggantikan kehadiran raja Yogyakarta. Sementara keris sebagai warisan adalah jenis keris yang diterima seseorang dari orang lain (orang tua/leluhur) keberadaannya wajib dipelihara/dirawat.
Sedangkan keris sebagai barang yang diperjualbelikan adalah jenis keris yang memang keberadaannya dipandang sebagai barang yang dapat dijual dan dibeli dengan nilai tertentu berdasarkan kesepakatan.
Keris demikian erat kaitannya dengan kultur Jawa karena di dalamnya menyimpan nilai-nilai filosofi, rentang sejarah, keunggulan teknologi, estetika, etika, dan lain-lain.
Secara filosofis konsep manunggaling kawula Gusti tertera dalam ungkapan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Segala wujud visual dari keris entah itu warangka, pamor, dhapur, luk, ricikan, deder, mendhak, pendhok, ganja, bahkan kayu yang digunakan untuk membuat warangka, mengandung nilai filosofi yang dalam.
Jadi, keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi, namun juga dalam di sisi filosofinya. Mengenakan keris dengan berbagai posisi pun memiliki nilai-nilai simbolik tersendiri. Hal inilah yang membedakan keris dengan pedang, pisau, belati, dan lain-lain. Pitutur
Misalnya Kanjeng Kyai Kopek adalah jenis keris yang sering disimbolkan sebagai wakil atau sosok yang dapat menggantikan kehadiran raja Yogyakarta. Sementara keris sebagai warisan adalah jenis keris yang diterima seseorang dari orang lain (orang tua/leluhur) keberadaannya wajib dipelihara/dirawat.
Sedangkan keris sebagai barang yang diperjualbelikan adalah jenis keris yang memang keberadaannya dipandang sebagai barang yang dapat dijual dan dibeli dengan nilai tertentu berdasarkan kesepakatan.
Keris demikian erat kaitannya dengan kultur Jawa karena di dalamnya menyimpan nilai-nilai filosofi, rentang sejarah, keunggulan teknologi, estetika, etika, dan lain-lain.
Secara filosofis konsep manunggaling kawula Gusti tertera dalam ungkapan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Segala wujud visual dari keris entah itu warangka, pamor, dhapur, luk, ricikan, deder, mendhak, pendhok, ganja, bahkan kayu yang digunakan untuk membuat warangka, mengandung nilai filosofi yang dalam.
Jadi, keris bukan hanya unggul pada sisi fisik dan teknologi metalurgi, namun juga dalam di sisi filosofinya. Mengenakan keris dengan berbagai posisi pun memiliki nilai-nilai simbolik tersendiri. Hal inilah yang membedakan keris dengan pedang, pisau, belati, dan lain-lain. Pitutur