Nasehat Bahasa Jawa Tentang Kehidupan
Himpunan Pepatah Jawa, Peribahasa Jawa, dan Nasehat bahasa jawa tentang kehidupan, Kata-kata bijak bahasa jawa serta kalimat bahasa jawa dan artinya
Himpunan Pepatah Jawa, Peribahasa Jawa, dan Nasehat bahasa jawa tentang kehidupan, Kata-kata bijak bahasa jawa serta kalimat bahasa jawa dan artinya, kami himpun sedemikian rupa semoga dapat memberikan manfaat untuk pembaca semua.
Peribahasa ini bermaksud menggambarkan keadaan atau situasi tentang orang yang sudah kehabisan kekayaan atau harta sehingga ia tidak punya apa-apa lagi. Hal ini umumnya disebabkan oleh suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan yang akhirnya menguras seluruh harta milik orang yang bersangkutan hingga tidak bersisa.
Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti habis hutan habis rumah.
Peribahasa ini bermaksud menggambarkan keadaan atau situasi tentang orang yang sudah kehabisan kekayaan atau harta sehingga ia tidak punya apa-apa lagi. Hal ini umumnya disebabkan oleh suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan yang akhirnya menguras seluruh harta milik orang yang bersangkutan hingga tidak bersisa.
Keadaan tersebut dapat terjadi pada orang yang menderita sakit yang kemudian berobat dengan biaya besar sehingga harus menguras seluruh gaji, tabungan, tanah pekarangan, sawah, tegalan, hingga rumahnya pun terjual. Keadaan macam ini juga dapat terjadi pada orang yang menggilai sesuatu. Misalnya gila judi sehingga tidak bisa kontrol diri dan akhirnya semua harta miliknya habis.
Alas atau hutan pada zaman dulu merupakan bagian atau wilayah di luar rumah yang menjadi penyangga kebutuhan keberadaan rumah dan rumah tangga yang menghuninya. Ketika alas habis dan rumah habis, maka “habis” pulalah nasib atau kehidupan manusia yang menghuni rumah tersebut.
Jika alas saja yang habis mungkin orang masih bisa mengandalkan harta atau sesuatu yang ada di dalam rumah untuk menopang hidupnya. Demikian juga sebaliknya, jika rumah saja yang habis mungkin alas masih bisa menjadi penopang hidupnya. Namun jika keduanya habis, maka orang yang bersangkutan tidak punya apa-apa lagi. Bahkan harapan pun mungkin juga menjadi habis.
Alas dan rumah dalam pepatah ini tidak hanya dimaknai secara harafiah atau wantah saja, namun bisa diperluas dalam ranah makna yang lain.
Peribahasa ini menunjukkan bahwa tidak ada tekad atau niat yang mulia daripada tekad atau niat untuk berbuat baik. Hal berbuat baik itu bukan hanya tidak mencuri dan tidak bertindak kasar, tetapi juga dalam hal berani mengambil kebijakan yang adil dan benar.
Peribahasa di atas secara harafiah berarti mahkota tekad/niat itu adalah berbuat baik.
Secara lebih jauh peribahasa ini menunjukkan bahwa tidak ada tekad atau niat yang mulia daripada tekad atau niat untuk berbuat baik. Hal berbuat baik itu bukan hanya tidak mencuri dan tidak bertindak kasar, tetapi juga dalam hal berani mengambil kebijakan yang adil dan benar. Ketidakberanian mengambil tindakan atau kebijakan yang baik dan benar akan menimbulkan keburukan (kesengsaraan) dan korban bagi orang lain.
Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan yang murni dan tulus, bukan pencitraan. Kebaikan yang dilakukan hanya demi pencitraan pada hakikatnya tidak sesuai dengan substansi tekad ambeciki. Tekad ambeciki juga berkaitan dengan keberanian bertindak untuk memberitahukan, memperingatkan, dan memberikan sanksi kepada orang lain yang bertindak tidak baik, tidak adil, dan tidak benar.
Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti abadi tidak ada susah tidak ada kegembiraan/kesenangan.
Secara lebih jauh pepatah ini ingin menyampaikan bahwa kehidupan manusia di dunia ini terdiri dari perputaran, ganti berganti, antara susah dan gembira. Tidak ada kesusahan yang abadi dan tidak ada kegembiraan yang juga abadi. Akan selalu ada kesusahan dan kegembiraan entah dalam skala besar ataupun kecil.
Hanya saja manusia sering tidak tahan atau tidak siap dengan hal-hal yang menyusahkan yang menimpa dirinya. Sebaliknya manusia setiap saat selalu mengharapkan semua hal yang menyenangkan dirinya. Harapan macam dianggap umum, lumrah, dan wajar.
Tidak ada seorang pun yang mengharapkan secuil kesusahan menghampiri dirinya. Oleh karena itu dalam sepanjang hidupnya manusia bekerja sekeras-kerasnya agar dirinya mendapat kesusahan atau penderitaan.
Manusia sering lupa bahwa susah dan senang sebenarnya telah menjadi semacam sandangan atau ‘pakaian’ yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Hanya saja kadarnya berbeda-beda, juga suasana, waktu, dan tempat kejadiannya.
Pepatah ini menjadi semacam peringatan akan perilaku, niatan, tindakan, dan perbuatan orang supaya tidak serakah karena keserakahan tidak akan mendatangkan berkah.
Peribahasa atau pepatah Jawa “Sapa Serakah Ora Berkah” secara harafiah berarti siapa serakah pasti tidak berkah.
Niat, nafsu, kehendak, perbuatan, tindakan yang didasari keserakahan dipercayai oleh masyarakat Jawa, dan(masyarakat pada umumnya, tidak akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Contohnya adalah korupsi. Korupsi selalu berimplikasi pada kerugian pihak lain oleh karena perbuatan si koruptor.
Si koruptor mungkin merasa untung karena bisa mengambil barang, uang, atau sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi haknya. Akan tetapi apa yang dilakukannya sebenarnya juga akan merugikan dirinya sendiri karena apa yang diambilnya di luar haknya nilai spiritual atau rohaniahnya dipercaya sebagai tidak ada.
Seperti diketahui, gunting memiliki dua bilah tajam dan runcing di kedua ujungnya. Jika gunting ini digunakan untuk menikam, maka luka bekas tikaman akan berjumlah dua buah.
Pepatah atau peribahasa suduk gunting tatu loro secara luas dapat dimaknai sebagai orang yang menderita kesusahan/kesedihan berganda/rangkap. Keadaan macam ini dapat terjadi atau menimpa siapa pun yang hidup di muka bumi ini. Kesedihan atau kesusahan berganda itu pun wujudnya bisa bermacam-macam.
Sebagai satu contoh, ada orang yang kecopetan ketika naik angkot. Begitu sampai rumah ternyata rumahnya dibobol maling. Dapat juga terjadi orang harus menampung dua pengaduan dari dua orang. Orang yang satu mengadu demikian, orang yang satunya lagi mengadu begitu.
Jika semua aduan ini dibuka maka akan melukai satu dengan yang lainnya. Artinya, akan ada dua orang yang terlukai. Orang yang menerima dua pengaduan itu sendiri seperti menyimpan dua kesusahan sekaligus.
Contoh lain lagi, ada satu keluarga mempunya dua orang anak. Anak yang satu kebetulan tidak naik kelas, sementara anak yang lainnya terkena masalah indisipliner di sekolahnya. Contoh lain tentang hal ini dapat juga dicermati sendiri di tengah kehidupan masyarakat.
Pepatah ini mengajarkan kepada kita bahwa apa pun yang masih belum terjadi atau bersifat calon selalu saja memiliki kemungkinan untuk tidak terjadi atau terwujud.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti calon belum tentu terlaksana (terjadi).
Hal demikian itu sering disalahtafsirkan oleh banyak orang. Orang yang merancang atau merasa yakin akan mendapatkan atau memperoleh sesuatu umumnya berkesimpulan bahwa hal itu akan benar-benar diterimanya, didapatkannya, atau diyakininya akan benar-benar terjadi. Padahal risiko gagal atau tidak terjadi seperti apa yang diangankan, dicita-citakan, dirancang, dan diperhitungkannya selalu saja mungkin.
Pepatah ini mengajarkan kepada kita bahwa apa pun yang masih belum terjadi atau bersifat calon selalu saja memiliki kemungkinan untuk tidak terjadi atau terwujud.
Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan tindakan belajar, orang pun harus mempelajarinya. Dengan kata lain orang harus mengerti sistem atau caranya untuk dapat memasuki inti atau substansi tindakan yang akan dilakukannya.
Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti caranya belajar juga harus dipelajari.
Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan tindakan belajar, orang pun harus mempelajarinya. Dengan kata lain orang harus mengerti sistem atau caranya untuk dapat memasuki inti atau substansi tindakan yang akan dilakukannya.
Sistem, cara, petunjuk, teori untuk melakukan tindakan belajar tidak berangkat dari kekosongan. Semua dimulai dengan “sesuatu”. Minimal dengan petunjuk atau bimbingan orang lain.
Hal ini utamanya terjadi pada dunia anak-anak di tahap-tahap awal dari sekolahnya. Mereka mulai mengenal cara belajar karena bimbingan orangtua, kakak, atau gurunya. Dari sanalah kemudian si anak mengembangkan dirinya sendiri dengan sistem atau cara belajar yang dianggapnya paling tepat atau paling nyaman bagi dirinya sendiri yang mungkin saja tidak atau kurang tepat untuk diterapkan atau digunakan oleh orang lain.
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti hidup itu hanya pandang-memandang.
Kata-kata bijak bahasa jawa, kalimat bahasa jawa dan artinya
1. Pepatah Jawa Entek Alas Entek Omah
Peribahasa ini bermaksud menggambarkan keadaan atau situasi tentang orang yang sudah kehabisan kekayaan atau harta sehingga ia tidak punya apa-apa lagi. Hal ini umumnya disebabkan oleh suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan yang akhirnya menguras seluruh harta milik orang yang bersangkutan hingga tidak bersisa.
Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti habis hutan habis rumah.
Peribahasa ini bermaksud menggambarkan keadaan atau situasi tentang orang yang sudah kehabisan kekayaan atau harta sehingga ia tidak punya apa-apa lagi. Hal ini umumnya disebabkan oleh suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan yang akhirnya menguras seluruh harta milik orang yang bersangkutan hingga tidak bersisa.
Keadaan tersebut dapat terjadi pada orang yang menderita sakit yang kemudian berobat dengan biaya besar sehingga harus menguras seluruh gaji, tabungan, tanah pekarangan, sawah, tegalan, hingga rumahnya pun terjual. Keadaan macam ini juga dapat terjadi pada orang yang menggilai sesuatu. Misalnya gila judi sehingga tidak bisa kontrol diri dan akhirnya semua harta miliknya habis.
Alas atau hutan pada zaman dulu merupakan bagian atau wilayah di luar rumah yang menjadi penyangga kebutuhan keberadaan rumah dan rumah tangga yang menghuninya. Ketika alas habis dan rumah habis, maka “habis” pulalah nasib atau kehidupan manusia yang menghuni rumah tersebut.
Jika alas saja yang habis mungkin orang masih bisa mengandalkan harta atau sesuatu yang ada di dalam rumah untuk menopang hidupnya. Demikian juga sebaliknya, jika rumah saja yang habis mungkin alas masih bisa menjadi penopang hidupnya. Namun jika keduanya habis, maka orang yang bersangkutan tidak punya apa-apa lagi. Bahkan harapan pun mungkin juga menjadi habis.
Alas dan rumah dalam pepatah ini tidak hanya dimaknai secara harafiah atau wantah saja, namun bisa diperluas dalam ranah makna yang lain.
2. Pepatah Jawa Mustikaning Tekad Iku Ambeciki
Peribahasa ini menunjukkan bahwa tidak ada tekad atau niat yang mulia daripada tekad atau niat untuk berbuat baik. Hal berbuat baik itu bukan hanya tidak mencuri dan tidak bertindak kasar, tetapi juga dalam hal berani mengambil kebijakan yang adil dan benar.
Peribahasa di atas secara harafiah berarti mahkota tekad/niat itu adalah berbuat baik.
Secara lebih jauh peribahasa ini menunjukkan bahwa tidak ada tekad atau niat yang mulia daripada tekad atau niat untuk berbuat baik. Hal berbuat baik itu bukan hanya tidak mencuri dan tidak bertindak kasar, tetapi juga dalam hal berani mengambil kebijakan yang adil dan benar. Ketidakberanian mengambil tindakan atau kebijakan yang baik dan benar akan menimbulkan keburukan (kesengsaraan) dan korban bagi orang lain.
Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan yang murni dan tulus, bukan pencitraan. Kebaikan yang dilakukan hanya demi pencitraan pada hakikatnya tidak sesuai dengan substansi tekad ambeciki. Tekad ambeciki juga berkaitan dengan keberanian bertindak untuk memberitahukan, memperingatkan, dan memberikan sanksi kepada orang lain yang bertindak tidak baik, tidak adil, dan tidak benar.
3. Pepatah Jawa Langgeng Tan Ana Susah Tan Ana Bungah
Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti abadi tidak ada susah tidak ada kegembiraan/kesenangan.
Secara lebih jauh pepatah ini ingin menyampaikan bahwa kehidupan manusia di dunia ini terdiri dari perputaran, ganti berganti, antara susah dan gembira. Tidak ada kesusahan yang abadi dan tidak ada kegembiraan yang juga abadi. Akan selalu ada kesusahan dan kegembiraan entah dalam skala besar ataupun kecil.
Hanya saja manusia sering tidak tahan atau tidak siap dengan hal-hal yang menyusahkan yang menimpa dirinya. Sebaliknya manusia setiap saat selalu mengharapkan semua hal yang menyenangkan dirinya. Harapan macam dianggap umum, lumrah, dan wajar.
Tidak ada seorang pun yang mengharapkan secuil kesusahan menghampiri dirinya. Oleh karena itu dalam sepanjang hidupnya manusia bekerja sekeras-kerasnya agar dirinya mendapat kesusahan atau penderitaan.
Manusia sering lupa bahwa susah dan senang sebenarnya telah menjadi semacam sandangan atau ‘pakaian’ yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Hanya saja kadarnya berbeda-beda, juga suasana, waktu, dan tempat kejadiannya.
Jika hal demikian disadari sepenuhnya, maka sesungguhnya suasana senang dan susah pada hakikatnya adalah sesuatu yang tidak perlu disikapi berlebihan. Jika kesusahan dan kegembiraan disikapi dalam porsi yang sama, maka sesungguhnya semua sama saja, seperti unsur positif dan negatif. Feminin dan maskulin.
Apabila manusia bisa mendudukkan semuanya dalam porsi yang sama, adil, dan jujur, maka sesungguhnya susah itu tidak ada, senang juga tidak ada karena keduanya adalah unsur yang tidak bisa dilenyapkan dalam kehidupan manusia. Kedatangannya bisa siklis, ganti-berganti dan tidak terhindarkan.
4. Pepatah Jawa Sapa Serakah Ora Berkah
Pepatah ini menjadi semacam peringatan akan perilaku, niatan, tindakan, dan perbuatan orang supaya tidak serakah karena keserakahan tidak akan mendatangkan berkah.
Peribahasa atau pepatah Jawa “Sapa Serakah Ora Berkah” secara harafiah berarti siapa serakah pasti tidak berkah.
Pepatah ini menjadi semacam peringatan akan perilaku, niatan, tindakan, dan perbuatan orang supaya tidak serakah karena keserakahan tidak akan mendatangkan berkah. Berkah sendiri bisa dimaknai sebagai nikmat (dalam pengertian yang luas), karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Niat, nafsu, kehendak, perbuatan, tindakan yang didasari keserakahan dipercayai oleh masyarakat Jawa, dan(masyarakat pada umumnya, tidak akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Contohnya adalah korupsi. Korupsi selalu berimplikasi pada kerugian pihak lain oleh karena perbuatan si koruptor.
Si koruptor mungkin merasa untung karena bisa mengambil barang, uang, atau sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi haknya. Akan tetapi apa yang dilakukannya sebenarnya juga akan merugikan dirinya sendiri karena apa yang diambilnya di luar haknya nilai spiritual atau rohaniahnya dipercaya sebagai tidak ada.
Bahkan sering dianggap bahwa orang yang demikian sesungguhnya sedang memasukkan “sampah” ke dalam dirinya baik secara fisik maupun spiritual. Hal inilah yang dianggap sebagai tidak mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia (baik diri sendiri) maupun orang lain.
Keserakahan bisa muncul karena faktor iri hati, tidak puas dengan apa yang didapatkan, sengaja mencari celah untuk menikmati ketidakadilan atau ketidakbenaran, dan seterusnya dengan orientasi untuk kenikmatan, kesenangan, kebanggaan, dan sebagainya bagi dirinya sendiri semata. Keserakahan bisa muncul pada sisi apa saja, entah itu berkaitan dengan harta benda, uang, jabatan, ketenaran, kehormatan, dan lain-lain.
Pepatah atau peribahasa suduk gunting tatu loro secara luas dapat dimaknai sebagai orang yang menderita kesusahan/kesedihan berganda/rangkap. Keadaan macam ini dapat terjadi atau menimpa siapa pun yang hidup di muka bumi ini. Kesedihan atau kesusahan berganda itu pun wujudnya bisa bermacam-macam.
Peribahasa Jawa ini secara harafiah berarti (ter)-tikam gunting luka dua.
Keserakahan bisa muncul karena faktor iri hati, tidak puas dengan apa yang didapatkan, sengaja mencari celah untuk menikmati ketidakadilan atau ketidakbenaran, dan seterusnya dengan orientasi untuk kenikmatan, kesenangan, kebanggaan, dan sebagainya bagi dirinya sendiri semata. Keserakahan bisa muncul pada sisi apa saja, entah itu berkaitan dengan harta benda, uang, jabatan, ketenaran, kehormatan, dan lain-lain.
5. Pepatah Jawa Suduk Gunting Tatu Loro
Pepatah atau peribahasa suduk gunting tatu loro secara luas dapat dimaknai sebagai orang yang menderita kesusahan/kesedihan berganda/rangkap. Keadaan macam ini dapat terjadi atau menimpa siapa pun yang hidup di muka bumi ini. Kesedihan atau kesusahan berganda itu pun wujudnya bisa bermacam-macam.
Peribahasa Jawa ini secara harafiah berarti (ter)-tikam gunting luka dua.
Pepatah atau peribahasa suduk gunting tatu loro secara luas dapat dimaknai sebagai orang yang menderita kesusahan/kesedihan berganda/rangkap. Keadaan macam ini dapat terjadi atau menimpa siapa pun yang hidup di muka bumi ini. Kesedihan atau kesusahan berganda itu pun wujudnya bisa bermacam-macam.
Sebagai satu contoh, ada orang yang kecopetan ketika naik angkot. Begitu sampai rumah ternyata rumahnya dibobol maling. Dapat juga terjadi orang harus menampung dua pengaduan dari dua orang. Orang yang satu mengadu demikian, orang yang satunya lagi mengadu begitu.
Jika semua aduan ini dibuka maka akan melukai satu dengan yang lainnya. Artinya, akan ada dua orang yang terlukai. Orang yang menerima dua pengaduan itu sendiri seperti menyimpan dua kesusahan sekaligus.
Contoh lain lagi, ada satu keluarga mempunya dua orang anak. Anak yang satu kebetulan tidak naik kelas, sementara anak yang lainnya terkena masalah indisipliner di sekolahnya. Contoh lain tentang hal ini dapat juga dicermati sendiri di tengah kehidupan masyarakat.
6. Pepatah Jawa Calon Mono Durung Mesthi Kelakon
Pepatah ini mengajarkan kepada kita bahwa apa pun yang masih belum terjadi atau bersifat calon selalu saja memiliki kemungkinan untuk tidak terjadi atau terwujud.
Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti calon belum tentu terlaksana (terjadi).
Hal demikian itu sering disalahtafsirkan oleh banyak orang. Orang yang merancang atau merasa yakin akan mendapatkan atau memperoleh sesuatu umumnya berkesimpulan bahwa hal itu akan benar-benar diterimanya, didapatkannya, atau diyakininya akan benar-benar terjadi. Padahal risiko gagal atau tidak terjadi seperti apa yang diangankan, dicita-citakan, dirancang, dan diperhitungkannya selalu saja mungkin.
Pepatah ini mengajarkan kepada kita bahwa apa pun yang masih belum terjadi atau bersifat calon selalu saja memiliki kemungkinan untuk tidak terjadi atau terwujud.
7. Pepatah Jawa Carane Sinau ya Kudu Disinau
Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan tindakan belajar, orang pun harus mempelajarinya. Dengan kata lain orang harus mengerti sistem atau caranya untuk dapat memasuki inti atau substansi tindakan yang akan dilakukannya.
Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti caranya belajar juga harus dipelajari.
Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan tindakan belajar, orang pun harus mempelajarinya. Dengan kata lain orang harus mengerti sistem atau caranya untuk dapat memasuki inti atau substansi tindakan yang akan dilakukannya.
Sistem, cara, petunjuk, teori untuk melakukan tindakan belajar tidak berangkat dari kekosongan. Semua dimulai dengan “sesuatu”. Minimal dengan petunjuk atau bimbingan orang lain.
Hal ini utamanya terjadi pada dunia anak-anak di tahap-tahap awal dari sekolahnya. Mereka mulai mengenal cara belajar karena bimbingan orangtua, kakak, atau gurunya. Dari sanalah kemudian si anak mengembangkan dirinya sendiri dengan sistem atau cara belajar yang dianggapnya paling tepat atau paling nyaman bagi dirinya sendiri yang mungkin saja tidak atau kurang tepat untuk diterapkan atau digunakan oleh orang lain.
8. Pepatah Jawa Urip Iku Mung Sawang-Sinawang
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti hidup itu hanya pandang-memandang.
Pepatah Jawa ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa orang hidup di dunia ini hanyalah saling memandang. Artinya, saling menilai, menakar, menduga, dan mengimajinasikan.
Contoh lebih jelasnya misalnya kalau melihat seseorang mengenakan pakaian bagus, aseseori mahal, kendaraan mewah, dan sebagainya kita akan dengan mudah menakar atau menduga bahwa orang tersebut tentu hidupnya senang, bahagia, dan makmur. Pandangan atau cara melihat kita kepada orang tersebut bisa saja benar.
Akan tetapi kebenaran itu belum tentu sempurna. Mungkin juga gagasan atau pandangan kita akan orang itu salah. Bisa jadi orang tersebut memang kaya, tetapi belum tentu hidupnya bahagia seperti pandangan atau dugaan kita. Bisa saja orang yang kaya secara material itu hidupnya penuh kekhawatiran.
Akan tetapi kebenaran itu belum tentu sempurna. Mungkin juga gagasan atau pandangan kita akan orang itu salah. Bisa jadi orang tersebut memang kaya, tetapi belum tentu hidupnya bahagia seperti pandangan atau dugaan kita. Bisa saja orang yang kaya secara material itu hidupnya penuh kekhawatiran.
Khawatir dirampok. Khawatir dicuri. Mungkin juga khawatir dimintai bantuan. Dapat saja terjadi orang yang kaya dalam sisi material itu di dalam hidupnya menghadapi banyak persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Mungkin saja ada saudaranya atau familinya yang sakit yang harus menjadi tanggungannya dalam waktu yang tidak berketentuan, dan sebagainya.
Pandangan demikian itu juga dapat terjadi ketika kita melihat pengemis atau pemulung. Mungkin kita akan segera punya pandangan bahwa orang yang demikian itu pasti hidupnya susah. Padahal sesungguhnya hidup mereka menyenangkan. Profesi pengemis atau pemulung yang mereka jalankan mungkin saja adalah profesi sambilan.
Pandangan demikian itu juga dapat terjadi ketika kita melihat pengemis atau pemulung. Mungkin kita akan segera punya pandangan bahwa orang yang demikian itu pasti hidupnya susah. Padahal sesungguhnya hidup mereka menyenangkan. Profesi pengemis atau pemulung yang mereka jalankan mungkin saja adalah profesi sambilan.
Sementara di sisi lain mereka memiliki pekerjaan lain. Dapat juga terjadi bahwa profesi semacam itu memang mereka pilih karena hal itu menyenangkan bagi diri mereka. Mungkin sekali dengan profesi semacam itu mereka justru bisa kaya, banyak tabungan, makmur, dan hidup senang.
Pepatah ini sebenarnya ingin mengingatkan orang agar orang jangan mudah menilai orang lain dari hal yang tampak oleh mata belaka. Pandangan orang atas apa yang dilihatnya bisa sangat keliru dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Pepatah ini sebenarnya ingin mengingatkan orang agar orang jangan mudah menilai orang lain dari hal yang tampak oleh mata belaka. Pandangan orang atas apa yang dilihatnya bisa sangat keliru dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Demikianlah Kata-kata bijak bahasa jawa, kalimat bahasa jawa dan artinya serta nasehat bahasa jawa tentang kehidupan yang kami himpun. Semoga dapat menambah ilmu pengetahuan tentang makna kalimat bahasa jawa beserta arti pepatah jawa ataupun peribahasa jawa. Terimakasih...