Ujian Nasional dan Korupsi

Ujian nasional dan korupsi memang dua hal yang berbeda. Ujian nasional memiliki kasus yang namanya nyontek dan sejenisnya, tetapi proses nyontek...
Ujian Nasional dan Korupsi

Ada dua kenyataan yang bisa kita lihat secara nyata, dan dua kenyataan itu membuat kita merasa sedih. Kenyataan pertama adalah ujian nasional yang dijaga secara ketat supaya siswa tidak mendapatkan bocoran soal, atau tidak saling menyontek. 

Kenyataan kedua, kasus-kasus korupsi yang terus terjadi, bahkan secara ‘telanjang’ dilakukan, dan sampai sekarang tidak pernah bisa dituntaskan.

Pada kasus pertama, ujian sekolah, sudah mengandaikan bahwa siswa ‘tidak jujur’ karena itu perlu diawasi, supaya tidak saling nyontek, atau ngerpek. Pada kasus kedua, korupsi, sudah jelas pelakunya orang yang tidak jujur,. Atau lebih parah lagi bejat, namun tidak pernah diselesaikan secara tuntas, apalagi korupsi dalam jumlah besar. 

Pada kasus pertama, baru mengandaikan siswa tidak jujur, sudah dijaga dengan ketat, seolah kalau siswa nyontek negara akan dirugikan. Pada kasus kedua, sudah jelas maling uang negara dan negara dirugikan, namun tidak pernah secara ketat dijaga, sehingga tidak ada lagi orang mengambil uang negara.

Apa yang salah dari ngerpek atau nyontek yang dilakukan siswa?

Padahal, kalau kota melihat para gurunya, secara jelas dan terang-terangan menyontek dalam mengajar. Guru membawa buku yang diajarkan karya dari orang lain, dan guru itu membacakan teks dari buku yang diajarkan. Hal itu disebut apa kalau bukan nyontek. Artinya, sistem pendidikan kita sendiri sudah nyontek. 

Jadi, bukan (hanya) siswa yang nyontek. Apa yang dilakukan siswa dengan nyontek hanyalah meneruskan dari apa yang dilakukan oleh gurunya, atau menjalankan sistem pendidikannya.

Kalau ditemukan siswa membaca sendiri, atau bisa menjawab pertanyaan tidak sesuai seperti yang ada di buku, murid disalahkan. 

Artinya, kalau tidak nyontek seperti buku, murid disalahkan. Ironisnya, murid dilarang nyontek dan memiliki pikiran sendiri yang berbeda dari teks pelajaran. Padahal, sekolah, atau belajar, adalah upaya untuk merangsang siswa bisa berpikir secara cerdas, kreatif dan nalarnya bisa dipertanggung jawabkan.

Jadi, ketika melihat bulan-bulan akhir April-Mei, saat ujian nasional dilakukan, siswa dari SD sampai SMA kelihatan stress, bukan karena tidak mampu menggarap soal ujian. Tapi rasanya, karena penjagaannya sangat ketat, lebih celaka lagi bila polisi ikut menjaga, seolah sudah menempatkan siswa tidak lagi memiliki kejujuran. 

Karena itu, dalam ujian nasional perlu dijaga ketat dan dijaga oleh guru yang tidak dikenal, atau bukan guru dari sekolahan dimana siswa menjalankan ujian nasional.

Sesungguhnya, sistem pendidikan yang menempatkan ujian nasional sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai siswa pintar atau bukan, dalam prosesnya telah melakukan kekerasan pada siswa. Karena, pada konteks ini, siswa sudah ditempatkan sebagai pihak yang ‘harus’ diawasi.

Anehnya, kasus-kasus korupsi yang terjadi ditingkat elit, dalam jumlah uang yang sangat besar, kelihatan tidak diawasi, sehingga selalu terjadi korupsi dan terus terjadi lagi. Seolah korupsi bukan sebagai masalah yang gawat untuk bangsa dan negara. 

Sedang ujian nasional, sepertinya dianggap sebagai menyelamatkan masa depan bangsa, karena itu harus diawasi. Ketika kemudian ditemukan bocoran soal yang beredar ditengah siswa, sebetulnya bukan siswa yang salah, tetapi sistem pendidikan itu sendiri yang membuat kebocoran soal terjadi.

Ujian Nasional dan Korupsi

Ujian nasional dan korupsi memang dua hal yang berbeda. Ujian nasional memiliki kasus yang namanya nyontek dan sejenisnya, tetapi proses nyontek tidak merugikan pihak lain, hanya mungkin membuat jengkel penjaganya, karena bisa terlena sehingga tidak melihat ada yang saling nyontek. Karena saling nyontek, belum tentu jawabannya akan benar. 

Tapi korupsi, yang melakukan mendapatkan keuntungan dan uang negara hilang sehingga menyebabkan hak rakyat hilang. Jadi, korupsi merugikan negara dan rakyat.

Pada nyontek hanya dilakukan satu tahun sekali saat ujian, dan itupun hanya dilakukan oleh sedikit siswa. Tidak semua siswa di Indonesia dari pusat sampai daerah semuanya nyontek. Tapi kasus-kasus korupsi dilakukan setiap saat dan berulang-ulang, dan dilakukan dari tingkat pusat sampai daerah. 

Dari yang pangkatnya tinggi sampai yang pangkatnya rendah. Ini artinya, korupsi jauh lebih berbahaya daripada nyontek. Atau barangkali, para koruptor sewaktu menjadi siswa kerjaannya nyontek, artinya memang memiliki mental tidak jujur, dan ketika menjadi pejabat perilaku nyontek diganti dengan korupsi.

Pemerintah mestinya secara tegas membrantas korupsi, bukan malah tegas menindak siswa nyontek. Dengan tegas membrantas korupsi, siapapun pelaku korupsi itu, artinya pemerintah memiliki akhlak dan siswa akan meneladani, dan dengan sendirinya, siswa akan malu nyontek. Kalau korupsi saja tidak malu, apalagi hanya nyontek, anggap saja sebagai kenakalan siswa. Tapi kalau korupsi bukan kenakalan, melainkan kejahatan.

Maka, kita, terutama pemerintah, wajib memerangi korupsi.
LihatTutupKomentar