Wah.. Keren, Anakku Pemancing
Sifat dasar seorang pemancing. Yang dia ingin hanya strike, bukan melihat ikan yang didapat orang. Hahahaha, dia sudah jadi pemancing.
Hobi mancing yang ada dalam diri saya, sepertinya akan turun ke anak pertama saya, Gabriel Nur El-Irfan. Jagoan saya yang baru berusia 6 tahun itu kini selalu ngajak memancing. Tak tanggung-tanggung, dia memaksa saya melaut dengannya. Wah.. keren, anaku pemancing.
Dulu, sebelum saya hobi mancing ke tengah laut, saya sering mengajak dia ke beberapa pemancingan. Dua pemancingan yang sering kami datangi adalah Pemacingan Bawal dan Patin di Serang Hijau dan Pemancingan Bandeng Luy di Sawah Luhur. Di dua lokasi pemancingan itu, Jagoanku sering strike. Saya melihat kebahagiaan yang luar bisa yang terpancar dari wajahnya.
“Ayah Kaka dapet” kata dia sambil terus memutar reel untuk mengangkat hasil tangkapan.
Selain membawa serta anak, saya juga kerap mengajak mantan pacar yang sekarang menjadi ibu dari dua anak saya. Saya menjadikan aktivitas memancing sebagai wisata. Kami memancing dan langsung meminta pengelola yang memang menyediakan makanan berat untuk memasak ikan hasil tangakapan kami. Memang indah, mancing bersama keluarga.
Nah, Sabtu 21 November lalu, saya sudah kadung menjanjikan kepada Si Jalu untuk memancing di laut. Dia ternyata mengingat dengan kuat janji saya itu. Sejak malam dia sudah bilang, Ayah besok mancing ke laut kan? Saya tentu harus mengiyakan. Memenuhi janji kepada anak adalah salah satu cara mendidik agar anak kita kelak menjadi sosok pribadi yang jujur dan menepati janjinya.
Kami pun berangkat berdua. Maklum istri saya masuk kerja, sementara si bungsu Elizza Putri Nabila masih liburan di rumah neneknya. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Dalam perjalanan, hujan turun begitu derasnya. Di tol, jarak pandang hanya 10 meteran saja. Lampu mobil pun harus saya nyalakan.
Saya kemudian berusaha memberi pengertian bahwa memancing di laut dalam kondisi hujan kurang baik. Alhamdulillah dia mengerti. Tetapi memasuki kilometer 80-an, hujan berangsur hilang. Terlebih saat memasuki pintu Tol Cilegon Timur, hujan benar-benar berhenti. Hanya mendung yang tersisa.
Karena hujan sudah berhenti, saya harus konsisten dan harus memenuhi janji. Karenanya, mobil tetap saya arahkan ke Bojonegara. Anak saya senang karena rencananya melaut tetap berjalan. Memasuki Bojonegara, kondisinya berbeda. Di pesisir Teluk Banten itu ternyata cerah sekali. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Mendung yang sebelumnya menyelimuti perjalanan kami, di sini tidak ada sama sekali.
Baca juga: Belajar Memancing Sejak Usia Anak
Saat hendak melaut, saya tanya beberapa kali ke anak saya, kira-kira dia akan mabuk (muntah) tidak. Beberapa kali juga Si Jagoan mengatakan tidak akan mabuk. Harap-harap cemas, itulah yang saya rasakan. Tapi ya biarlah, sekalian belajar melaut.
Kami sudah di atas perahu yang sudah membelah lautan. Kepada nakhoda kapal Mang Cecep dan teman-teman seperjalanan yakni Mang Rohib, Mang Marjuk dan Kang Nurdin, saya bilang tidak perlu ke tengah. Ini hanya latihan buat anak saya.
Kami pun hanya memancing di sekitar Pulau Panjang. Nah di sini ujian sebagai seorang ayah diuji. Saat rekan-rekan beberapa kali strike, umpan pancing anak saya belum juga disambar. Dia mulai bête. Beberapa kali saya harus mengganti umpan udang hidup untuk memenuhi permintaan Si Jalu. Maklum, dia kesel kok umpannya gak ada yang menyambar.
Saya pun akhirnya memberikan pengertian tentang mancing, disambar ikan, rezeki, hingga kesabaran. Berkali-kali teman-teman strike, berkali-kali juga anak saya mengeluh. Dia makin bête karena tak jua ditarik. Berkali-kali juga saya memberikan pemahaman tentang sebuah kesabaran dan rezeki.
Dia terlihat tidak tertarik dengan ikan hasil strike teman-teman. Bagi saya jelas, itulah sifat dasar seorang pemancing. Yang dia ingin hanya strike, bukan melihat ikan yang didapat orang. Hahahaha, dia sudah jadi pemancing. Begitu saya berkata dalam hati.
Yang paling membanggakan adalah, dia kuat duduk berjam-jam di atas perahu yang bergoyang dimainkan ombak. Dia tidak mabuk dan tidak muntah. Bahkan sama sekali tidak merasakan pusing. Wis keren.
Baiklah, esok atau lusa saya akan bawa dia memancing lagi. Saya berharap umpannya disambar sehingga bisa strike seperti di empang dan tempat pemacingan. Salam Fish On!
Kami sudah di atas perahu yang sudah membelah lautan. Kepada nakhoda kapal Mang Cecep dan teman-teman seperjalanan yakni Mang Rohib, Mang Marjuk dan Kang Nurdin, saya bilang tidak perlu ke tengah. Ini hanya latihan buat anak saya.
Kami pun hanya memancing di sekitar Pulau Panjang. Nah di sini ujian sebagai seorang ayah diuji. Saat rekan-rekan beberapa kali strike, umpan pancing anak saya belum juga disambar. Dia mulai bête. Beberapa kali saya harus mengganti umpan udang hidup untuk memenuhi permintaan Si Jalu. Maklum, dia kesel kok umpannya gak ada yang menyambar.
Saya pun akhirnya memberikan pengertian tentang mancing, disambar ikan, rezeki, hingga kesabaran. Berkali-kali teman-teman strike, berkali-kali juga anak saya mengeluh. Dia makin bête karena tak jua ditarik. Berkali-kali juga saya memberikan pemahaman tentang sebuah kesabaran dan rezeki.
Dia terlihat tidak tertarik dengan ikan hasil strike teman-teman. Bagi saya jelas, itulah sifat dasar seorang pemancing. Yang dia ingin hanya strike, bukan melihat ikan yang didapat orang. Hahahaha, dia sudah jadi pemancing. Begitu saya berkata dalam hati.
Yang paling membanggakan adalah, dia kuat duduk berjam-jam di atas perahu yang bergoyang dimainkan ombak. Dia tidak mabuk dan tidak muntah. Bahkan sama sekali tidak merasakan pusing. Wis keren.
Baiklah, esok atau lusa saya akan bawa dia memancing lagi. Saya berharap umpannya disambar sehingga bisa strike seperti di empang dan tempat pemacingan. Salam Fish On!